Scroll Untuk Membaca

Editorial

KPK Di Persimpangan Off Road Topan—Bobby

KPK Di Persimpangan Off Road Topan—Bobby
Kecil Besar
14px

Publik bahkan berharap akan ada nama besar—Gubernur Bobby, misalnya—yang ikut dijerat.

Bukan hanya jalan yang rusak—republik ini seolah mengalami keretakan mekanisme akuntabilitas. Kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara yang menyeret Topan Obaja Putra Ginting, mantan Kepala Dinas PUPR Sumut, bukan cuma perkara duit Rp231,8 miliar. Ia potret bagaimana perizinan, pergeseran anggaran “ugal-ugalan” oleh Gubernur Bobby Nasution, dan pengawasan proyek infrastruktur berubah menjadi mesin korupsi yang rapi, berlapis, dan—sebenarnya, jika KPK punya nyali—tak sulit dibongkar.

KPK telah menetapkan lima tersangka dalam perkara yang dibagi dua klaster—empat proyek di lingkungan Dinas PUPR Sumut dan dua proyek di Satker PJN Wilayah I—dengan total nilai Rp231,8 miliar. Namun proses hukum yang melibatkan Topan tampak timpang: pihak swasta sudah disidang, sementara berkas Topan belum juga dilimpahkan. Pelaksana Tugas Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, meminta publik bersabar. Alasannya, masih ada pendalaman proyek lain yang diduga melibatkan Topan.

Pernyataan itu terdengar enak di kuping. Publik bahkan berharap akan ada nama besar—Gubernur Bobby, misalnya—yang ikut dijerat. Namun permintaan bersabar dari aparat penegak hukum kerap memberi ruang bagi aktor politik membangun narasi pembelaan, mengaburkan fakta, bahkan menekan penyidik. Sampai kapan “cukup” dijadikan alasan? Penegakan hukum mesti memiliki tenggat yang jelas, bukan hanya jargon “masih didalami” yang berulang-ulang dan membosankan.

OTT yang memicu penyelidikan ini—dan penetapan tersangka pada 28 Juni 2025—seharusnya membuka diskusi tentang mekanika pengadaan publik: bagaimana pejabat teknis memegang kunci proyek, peran Pejabat Pembuat Komitmen, hingga kolusi dengan penyedia jasa. Ketika anggaran Rp231,8 miliar berubah menjadi ladang transaksi, fokus semata pada pelaku tanpa membedah sistem hanya mengulang lingkaran korupsi musim ke musim.

Kepentingan publik menuntut dua hal. Pertama, transparansi proses hukum: publik berhak tahu titik temu antara bukti, saksi, dan keputusan penyidik. Kedua, reformasi teknis pengadaan: standar audit internal, rotasi pejabat rawan konflik kepentingan, serta mekanisme whistleblower yang benar-benar melindungi pelapor. Tanpa itu, kita hanya memburu babi hutan di hutan yang sama, sementara akar pembiayaan gelap tetap subur.

KPK memang dikenal cepat saat OTT, tetapi kecepatan itu harus diimbangi kelengkapan prosedural. Menahan pelimpahan berkas demi menunggu klaster lain bisa saja taktis—agar berkas tak mudah digugat—namun berisiko menimbulkan kesan pilih kasih. Apalagi pihak swasta sudah lebih dulu diadili. Penjelasan rinci diperlukan: aspek apa yang masih didalami, siapa yang diperiksa, dan kapan target penyelesaian penyidikan. Tanpa tenggat, frasa “masih didalami” hanyalah pengganti akuntabilitas.

Ketidakselarasan antara penyidikan dan proses peradilan juga mengurangi efek jera. Jika pemberi suap sudah disidang sementara penerima belum, pesan yang terbaca publik—dan calon koruptor—adalah ada celah waktu untuk menawar “penangguhan konsekuensi”. Ini bukan melulu problem etik, melainkan erosi kepercayaan pada rantai penegakan hukum.

Publik tak menuntut proses kilat yang ceroboh, tetapi proses transparan, berstandar, dan komunikatif. KPK perlu menyampaikan garis waktu evaluasi dan indikator “cukup bukti” untuk pelimpahan berkas. Selain itu, langkah non-yudisial seperti audit forensik kontrak, revisi SOP pengadaan, dan perlindungan pelapor harus segera ditempuh. Ringkasan temuan bisa dipublikasikan tanpa merusak penyidikan, demi memberi kepastian pada publik.

Akhirnya, negara yang ingin berdaulat dalam pembangunan infrastruktur tak bisa menolerir budaya menunggu yang menjadi bungkus korupsi. Jalan yang baik bukan cuma soal aspal dan drainase, melainkan kepercayaan: bahwa setiap rupiah dibelanjakan untuk rakyat, bukan untuk “menggembulkan” rekening penguasa dan lingkarannya. Pemeriksaan mendalam memang penting, tetapi transparansi dan kecepatan akuntabilitas harus berjalan bersamaan—bukan terpisah—seperti Topan [field executor] yang off-road bersama Bobby Nasution [policymaker] di jalur Sipiongot–Hutaimbaru, 22 April 2025.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE