Editorial

Kudeta Senyap Ketua Golkar Sumut

Kudeta Senyap Ketua Golkar Sumut
Kecil Besar
14px

Ketika merebut kursi Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia pun dituding memakai resep serupa: “kudeta senyap” terhadap Airlangga Hartarto.

Di Sumatera Utara, pergeseran kekuasaan kerap berlangsung tanpa dentuman. Tak perlu tank, cukup surat keputusan. Begitulah nasib Musa Rajekshah, alias Ijeck—mantan Wakil Gubernur Sumut dan Ketua DPD Golkar—yang dilengserkan lewat mekanisme yang tampak “demokratis”, tapi beraroma kudeta senyap. DPP Golkar mencopotnya dan menunjuk Ahmad Doli Kurnia sebagai pelaksana tugas. Bagi publik, ini bukan cuma rotasi jabatan, melainkan bagi peta politik Sumut, ini sinyal perubahan besar: klan Bobby Nasution sedang menancapkan batang beringin kekuasaannya.

Bobby, kini Gubernur Sumut, bukan sekadar pemain baru. Ia tengah berambisi membangun jejaring politik yang melampaui batas partai. Di belakang layar, manuvernya mulai terasa: dari penempatan figur-figur muda di kepala daerah, hingga menggeser figur lama yang dianggap “kurang seirama.” Pencopotan Ijeck bukan cuma perkara urusan internal Golkar; ia bagian dari strategi besar mengonsolidasikan kuasa keluarga Nasution-Sitorus di tubuh partai yang memiliki akar kuat hingga ke pelosok desa.

Tak sulit membaca arah angin. Hendriyanto Sitorus, Bupati Labuhanbatu Utara dan kerabat dekat keluarga Bobby, disebut-sebut menjadi “anak emas” dalam Musda Golkar berikutnya. Nama ini bukan muncul karena prestasi semata, melainkan karena restu dari Gubernur yang kini tengah menata panggung politik Sumut menuju 2029. Bila estimasi ini benar, Golkar akan menjadi kendaraan politik baru yang dikendarai klan Bobby, melengkapi kendali atas birokrasi dan jaringan kepala daerah.

Bagi Musa Rajekshah, ini sungguh ironi. Ia lah yang membawa Golkar Sumut kembali berjaya: delapan kursi DPR RI, dua puluh dua kursi DPRD provinsi, dan lebih dari dua ratus kursi di kabupaten/kota. Tapi dalam politik, jasa dan sukses stori bukan jaminan. Loyalitas dan kuasa lebih mahal dari capaian. Ketika mesin politik mulai dikendalikan dari Jakarta, prestasi lokal—sesohor Ijeck sekalipun—mudah dikorbankan.

Bahlil Lahadalia, yang kini memimpin Golkar pasca Airlangga Hartarto, tampak hanya menjadi pelaksana strategi “Gerombolan Solo”. Tuduhan bahwa ia menuruti tekanan pihak luar—yakni lingkaran kekuasaan Bobby—menunjukkan betapa cair batas antara pemerintah dan partai. Golkar, yang dahulu dikenal sebagai partai kader yang paling “manufaktur”, kini kembali ke pola lama: partai penguasa.

Konflik ini bukan sekadar rivalitas pribadi antara Ijeck dan Bobby. Ini babak baru pertarungan dua trah politik yang sudah lama bersaing: Rajekshah versus Sitorus-Nasution. Yang satu mengandalkan jaringan bisnis dan karisma lokal; yang lain bertumpu pada legitimasi kekuasaan negara. Seperti dua sisi mata uang, mereka pernah berjalan seiring saat Pilgub 2018, tapi kini berhadap-hadapan di jalan yang sama menuju kursi 2029.

Namun yang paling tragis, di tengah pertarungan elite ini, publik Sumut hanya menjadi penonton. Partai yang seharusnya menjadi ruang artikulasi kepentingan rakyat justru berubah menjadi arena tawar-menawar dinasti. Sementara rakyat masih berhadapan dengan harga sembako yang melambung karena bencana, infrastruktur yang bobrok, dan korupsi yang terus menyala.

Golkar Sumut kini terancam kehilangan marwahnya. Pencopotan Ijeck mengirim pesan bahwa loyalitas pada rakyat kalah penting dibanding loyalitas pada atmosfer kekuasaan. Bila dibiarkan, partai beringin akan menjadi bonsai politik: akarnya dalam, tapi batangnya dipangkas demi estetika dinasti.

Pola “kudeta senyap” ini tak hanya dituduhkan terjadi di Sumut. Ingatan publik mencatat tudingan serupa di level pusat: usai Airlangga Hartarto mundur, Bahlil Lahadalia dirumorkan siap mengisi kursi Plt; bahkan keduanya sempat bertemu di IKN, 12 Agustus 2024, saat Airlangga menyindir soal “kursi” yang diambil Bahlil. Lelucon itu kecil, tapi politik sering berangkat dari repetisi hal remeh: kursi digeser, lalu kursi dicopot.

Di Sumatera Utara, politik kekinian sedang memasuki babak baru—era dominasi klan Bobby Nasution. Langkah-langkahnya rapi, sistematis, dan penuh perhitungan meski tampak “kampungan”. Ia bukan hanya menguasai jabatan gubernur, melainkan perlahan mencengkeram struktur partai, DPRD, hingga jaringan kepala daerah. Kudeta senyap terhadap Ijeck hanyalah pembuka. Bab berikutnya adalah konsolidasi penuh kekuasaan di bawah satu nama keluarga.

Di negeri yang “bermuka tebal” dinasti, kudeta tak lagi disebut pelanggaran—ia naik pangkat jadi SOP: sah di kertas, busuk di nurani. Etika digulung, meritokrasi dikubur, lalu kuasa dibagi seperti jatah kursi. Inilah jejak Bahlil: menjadikan beringin kios kekuasaan—yang dekat pusat pegang kunci, yang berprestasi disuruh minggir. Kelak “beringin tua” itu roboh bukan karena badai lawan, melainkan rayap yang dipelihara dari dalam: ambisi, pesanan, dan kudeta yang dinormalkan oleh ketua umum dan gubernur sontoloyo itu.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE