Scroll Untuk Membaca

Editorial

Laga Balak Bobby—KPK

Laga Balak Bobby—KPK
Kecil Besar
14px

Ketika terdakwa berbaris, yang duduk di kursi pesakitan sering hanyalah tukang geser, bukan aktor “penggeser anggaran”.

Di meja domino republik kali ini, balak tertinggi diletakkan pada kasus Topan Obaja Putra Ginting: pertaruhan gengsi lembaga antirasuah dan menantu presiden. Bidaknya berderai dari e-katalog hingga euforia off-road, ketika 22 April 2025 Gubernur Sumut Bobby Nasution, Topan, dan kontraktor menjajal jalan yang belum beranggaran. Kemarin, pada 23 September 2025, KPK menegaskan tak ada intervensi Istana “Mas Wapres” maupun “Geng Solo” di pusaran kasus Topan. Kita diminta percaya, penyidikan pun berjalan, tak ada kendala.

Namun publik yang sudah fasih membaca pola permainan, tahu bahwa balak bukan semata angka ganda di kepingan domino; ia adalah sinyal dominasi. OTT Juni 2025 mengungkap proyek Rp231,8 miliar, menyeret pejabat teknis dan dua direktur swasta. Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Berigadir Jenderal Polisi Asep Gutur Rahayu, menyebut Bobby dan Topan berada dalam “circle” yang sama. Pertanyaan pun menubruk meja: sampai di mana lingkar itu ditarik?

KPK bilang roda penyidikan terus berputar: saksi diperiksa, rumah digeledah, aliran dana disisir. Tapi detak jarum jam publik berbeda. Revisi UU KPK 2019 membuat ritme langkah lembaga antirasuah ini kian pendek nafas: izin penyadapan, Dewan Pengawas, dan ASNisasi menambahi prosedur yang gemuk. Di ujung birokrasi, taring bisa patah tanpa dikikir.

Realitanya: ketika terdakwa berbaris, yang duduk di kursi pesakitan sering hanyalah tukang geser, bukan aktor “penggeser anggaran”. Dalam kasus ini, indikasi yang diurai para pengamat menempatkan Topan sebagai perantara. Jika benar demikian, siapa pemberi komando? Sebagai catatan, atasan langsung Topan Ginting adalah Bobby Nasution, Gubernur Sumut, bukan Menteri. Kita tidak butuh teori konspirasi; kita butuh keberanian KPK menegakkan kebenaran di atas sumpah jabatan.

Analogi sederhana kasus Topan adalah: membangun jalan tanpa anggaran ibarat memesan pesta tanpa dompet, lalu meminta katering mengirim makanan lebih dulu. Kontraktor tergiur, panitia mengedip, dan uang muka menetes seperti minyak pada aspal panas. Ketika aparat datang, yang ditutup bukan komando, melainkan jejak telapak kaki para pelayan.

KPK berkali-kali menyangkal intervensi. Syahdan, yang lebih sering mencederai perkara besar bukan telepon dari istana, melainkan kehendak kecil untuk selamat dari badai politik. Penundaan, penggalan berkas, dan komunikasi yang hemat informasi berubah menjadi kabar burung yang lebih lincah dari fakta. Transparansi bukan musuh penyidikan; ia pelindung legitimasi.

Sumut tak sedang berpolemik soal selera infrastruktur, melainkan tata kelola. Jalan hanyalah panggung; narasi utamanya adalah siapa yang mengorkestrasi musik dan siapa yang wajib membayar. Bila proses berhenti di pintu PPK dan UPTD, pola lama resmi diabadikan lagi oleh sejarah: pelaksana dihukum, pengambil keputusan bersiul melenggang—bahkan sibuk berpidato soal integritas dan kapabilitas.

Inilah mengapa “laga balak” Bobby-KPK adalah ujian karakter. Bukan melulu soal apakah seorang gubernur benar atau salah, tetapi apakah KPK masih mampu menembus ruang yang tadinya tabu karena Bobby menantu [bekas] presiden? Di sinilah publik menunggu, bukan dengan perlakuan anarkis seperti di Nepal, melainkan dengan catatan paling ringkas: tanggal pertemuan, rute aliran dana, dan satu pertanyaan kunci—siapa memerintah, siapa menjalankan.

Asas praduga tak bersalah bukan selimut impunitas; nirpidana. Ia justru mandat untuk bekerja cepat, rapi, dan terbuka: uraikan konstruksi perkara, jelaskan relevansi “circle”, dan tegaskan batas politik. Tanpa itu, istilah “progres” KPK hanya akan tinggal mantra; hukum berubah jadi seminar, sementara keadilan menunggu moderator yang tak pernah datang. Lalu publik mengarsipkan kecewa, selapis demi selapis.

Bila KPK berani menyuruk ke inti diksi “circle” yang diunggah di meja konferensi pers, reputasi lembaga ini bisa pulih; bila ragu, kelelahan moral bangsa akan bertambah satu episode lagi. Pada akhirnya, korupsi selalu mencari rumah di celah kompromi. Dan kompromi paling mahal adalah ketika kita membiarkan hukum berhenti di tepi kenyamanan jabatan.

Jalan keluar kasus ini sebenarnya sudah lama diaspal: di atasnya tertulis dua baris pendek—ikuti jejak “perintah uang”, bukan “uang perintah”. KPK tau frasa itu. Jika baris itu dibiarkan kabur, kita akan menyaksikan “plot twist” paling pahit: bukan Topan, bukan Bobby, bukan KPK yang duduk di kursi terdakwa, melainkan nalar publik. Dan ketika nalar publik divonis bersalah karena negara lupa, seluruh balak tak perlu didorong lagi—ia akan rebah sendiri, menimpa kita satu per satu; di meja republik domino!

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE