Tindakan teatrikal Gubernur tampak keren di depan kamera, tetapi bodoh secara birokrasi dan berbahaya secara politik.
Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, lagi-lagi bikin blunder. Setelah mengklaim dan ingin mengolaborasi empat pulau milik Aceh, kini buat aksi cari popularitas: menghentikan dan merazia truk bermuatan yang memakai pelat BL—kode wilayah Aceh—di perbatasan Langkat, seperti diunggah akun TikTok @FaktaMedan yang dibagikan pada Minggu (28/9/2025). Video singkat itu beredar cepat, memantik amarah sekaligus protes: apakah kepala daerah kini berwenang menegakkan batas-batas administratif lewat penghentian kendaraan bermotor? Bukti videonya ada; reaksi politiknya juga nyata—dari kecaman keras hingga peringatan soal potensi konflik antardaerah.
Bobby lupa bahwa STNK dan pelat nomor bukan artefak lokal yang bisa ditafsir ulang sesuai selera. Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) diterbitkan melalui proses registrasi nasional; STNK adalah produk hukum negara yang mengikat di seluruh wilayah Republik Indonesia. Aturan registrasi dan identifikasi kendaraan detailnya termaktub dalam peraturan Polri yang mengatur standar penerbitan TNKB dan STNK—bukan dalam keputusan sepihak satu provinsi. Bila dasar hukum dikesampingkan demi kepongahan, hasilnya bukan hanya salah administrasi, melainkan potensi gesekan sosial antardaerah yang sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI.
Pelat “BL” itu sendiri jelas menunjukkan asal: Aceh. Kode daerah pada TNKB dibuat untuk memudahkan identifikasi administratif, bukan alat diskriminatif. Di seluruh peta plat Indonesia—dari BA sampai PB—tersusun norma nasional yang memudahkan urusan pajak, tilang, dan lalu lintas. Menghentikan truk hanya karena “warna atau kode” pelat adalah tindakan teatrikal Gubernur agar tampak keren di depan kamera, tetapi bodoh secara birokrasi dan berbahaya secara politik.
Politisi Aceh, M. Nasir Djamil, langsung berang. Kebijakan razia sepihak itu, kata anggota Komisi III DPR-RI, ini adalah tindakan “blunder” dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Ia menegaskan jalan raya dibangun dan diperbaiki dengan uang negara—dari sumber bersama, rakyat—maka pemakaiannya juga harus bersifat bersama. Jika gubernur merasa ada masalah operasional dengan moda transportasi tertentu, mekanismenya jelas: komunikasi antarlembaga, laporan ke kepolisian atau Dinas Perhubungan, bukan aksi ala preman di perbatasan yang menyerupai operasi cari panggung.
Ada pelajaran penting yang harus dipahami oleh gubernur “karbitan” ini: bahwa politik simbol lebih cepat menular daripada tata kelola. Di era media sosial, tindakan serba-instagram, tiktok, “X”, fb, atau platform lain, gampang mengubah persoalan administratif menjadi klaim keberanian daerah. Tetapi keberanian yang salah alamat—yang mengorbankan rasa aman warga antarprovinsi dan mengaduk kenangan sengketa wilayah—bukan heroisme; itu sabotase kecil terhadap iklim kebangsaan yang sudah rapuh di Republik ini. Kala pejabat daerah memilih retorika kemenangan lokal lewat kebijakan yang menabrak asas hukum nasional, yang rugi pertama-tama adalah warga yang menikmati akses dan mobilitas tanpa diskriminasi. Bagaimana jika razia itu dibalik dilakukan di Aceh yang pelat BK lalu lalang setiap waktu? Apakah itu tugas pokok gubernur?
Gubernur mesti diingatkan: kekuasaan daerah berhenti pada batas hukum, bukan emosi politik. Jika benar ada pelanggaran—pelat palsu, STNK mati, atau muatan berbahaya—tangani sesuai prosedur. Kalau hanya ingin pamer otoritas dan popularitas, tolong jangan dengan truk orang lain sebagai properti panggung Anda, Pak Gubernur. Sebab apa pun alasannya, razia pelat BL di Langkat lebih mirip pamer kesombongan yang sengaja diumbar ke ruang publik daripada solusi yang menyejukkan. Sudahi blunder politik itu. Jangan mengalihkan isu kasus korupsi Topan Ginting ke isu murahan yang bikin marah orang Aceh. Karena arti blunder—dalam KBBI—adalah kesalahan serius atau memalukan yang disebabkan oleh kebodohan, kecerobohan, atau kelalaian. Anda di posisi kesalahan serius yang mana?