Scroll Untuk Membaca

Editorial

Langkah “Kuda” Rektor Mury

Langkah “Kuda” Rektor Mury
Kecil Besar
14px

Kuda tak melaju lurus; ia menikung. Di e-katalog, tikungan itu berupa jeda tayang. Di kampus, tikungannya pertemanan.

Jumat siang, 15 Agustus 2025. Di KPPN Padangsidimpuan, nama seorang akademikus tertera di daftar saksi KPK: Prof. Muryanto Amin, Rektor Universitas Sumatera Utara. Statusnya saksi. Perkaranya suap proyek jalan di Sumut. Pertanyaannya jelas: mengapa rektor perguruan tinggi negeri muncul di berkas infrastruktur?

Sehari-hari Mury mengurus kampus tua di Medan. Di perkara ini, KPK menyebut alasan pemanggilan tanpa basa-basi: “Ini circle-nya… Topan juga kan circle-nya,” kata Plt Deputi Penindakan Asep Guntur Rahayu. “Topan” adalah Topan Ginting, Kadis PUPR Sumut nonaktif, tersangka hasil OTT di akhir Juni. Kalimat pendek yang seperti emoji di BAP itu menjelaskan fokus penyidik: jejaring, bukan cuma uang.

Kronologi awalnya bernuansa tutorial belanja daring: paket tayang di e-katalog diatur ritmenya, ada “jeda” agar tak mencolok. Pemenang dipandu, bukan ditemukan. Komitmen fee 4–5 persen mengantar angka sekitar Rp8 miliar untuk sang kepala dinas. Jalan negara, logika marketplace.

Dari rumah Topan, KPK menyita uang sekitar Rp2,8 miliar dan dua senjata api. Bukan pemandangan laboratorium riset, melainkan etalase kekuasaan lokal. Bukti diseret keluar laci, publik diminta menghitung sendiri.

Apakah kampus kebal dari gurat politik? Sejarah dekat menjawab tidak. Lihat Universitas Indonesia di era Rektor Ari Kuncoro. Rangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama BRI memantik revisi statuta, kritik publik, hingga akhirnya Ari mundur dari kursi komisaris. Kampus menjadi panggung tarik-menarik kepentingan, bukan hanya ruang kuliah.

Di Yogyakarta, jejak Pratikno—mantan Rektor UGM—menunjukkan betapa tipis selaput antara menara gading dan istana. Ia ikut di lingkar transisi Jokowi 2014 dan kemudian menjadi Mensesneg, lalu Menko PMK sejak 21 Oktober 2024 di kabinet Prabowo. Kampus, bila tak waspada, mudah terseret orbit politik—bahkan saat niat awalnya “mengabdi pada negara”.

Medan punya versinya sendiri. Mury disebut dekat dengan Bobby Nasution—disebut-sebut juga anak “biologis politik”-nya Partikno. Ada laporan ke Bawaslu soal dugaan keterlibatan dukungan di Pilgub Sumut 2024; ada pula tudingan ia menjadi konsultan politik Bobby. Semua masih klaim, tetapi cukup menambah bising di koridor akademik.

Begitulah “langkah kuda” di papan catur republik. Kuda tak melaju lurus; ia menikung. Di e-katalog, tikungan itu berupa jeda tayang. Di kampus, tikungannya adalah pertemanan, panitia, lembaga, atau “forum”. Alumni USU bahkan melayangkan surat terbuka, meminta klarifikasi hingga opsi penonaktifan sementara rektor, demi marwah kampus. Ruang kelas pun ikut bau cat pagar kantor pemerintahan.

Kita sering memuja kampus sebagai reservoir akal sehat. Tapi reservoir juga bisa jadi kolam retensi: menampung limpasan politik sebelum dialirkan lagi ke hilir kebijakan. Di Medan, Yogyakarta, hingga Depok, kampus berkali-kali dicoba sebagai gelanggang. Ada yang menyebut edukasi politik. Ada yang menyebutnya normalisasi kekuasaan dengan toga. Perdebatan soal kampanye di kampus bahkan sempat dilegalkan dalam format terbatas. Pintu dibuka, arus masuk.

Lalu Mury? KPK memanggilnya sebagai saksi. “Circle” menjadi kata kunci. Jika benar jejaring yang menggerakkan penentuan pemenang, maka ilmu kebijakan kalah oleh ilmu pergaulan. Jalan hotmix hampir selalu diawali obrolan hangat. Bukti sudah ditabur: pola e-katalog, fee, uang tunai, sampai senjata. Sisanya soal benang merah: siapa menyusun, siapa menekan, siapa menutup pintu saat rapat.

Satire paling getir justru lahir dari kamus kampus: integritas, meritokrasi, kolaborasi. Tiga kata yang empuk dipidatokan, tetapi keras saat digigit kenyataan. Jika rektor adalah penjaga gawang, maka politik adalah bola yang selalu mencari celah antara jari. Penonton bertepuk tangan—sampai sadar skor dihitung di grup WhatsApp, bukan di papan skor.

Kita menuntut universitas kembali ke laboratorium nalar, bukan laboratorium elektoral. Sebab jika “langkah kuda” itu terbukti hanya strategi keluar dari aturan, bukan strategi keluar dari kebodohan, maka gelar yang paling layak bukan “Profesor”. Melainkan: pawang e-katalog.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE