Remah kekuasaan Jokowi diasumsikan masih menempel di KPK. Nama Bobby Nasution, sang menantu, berlumur “keramat”.
KPK dilahirkan dengan cita-cita dan mandat besar: UU KPK memberikan wewenang menindak korupsi pejabat publik dan penegak hukum, seolah menjadi ‘superbody’ yang bisa menerobos kendala struktural. Pada tingkat ideal, lembaga antikorupsi ini memang diharapkan menjadi benteng terakhir pemberantasan praktik melaratkan negara. Anehnya, dalam realita hari ini, muncul sosok “Superbobby”—seorang gubernur menantu Presiden—yang tampak tak terjamah hukum. Judul satir Superbody versus Superbobby tidak hanya permainan kata: ini melukiskan ketimpangan. Bagaimana mungkin kewenangan luas KPK belum juga menguak keterlibatan tokoh sentral dalam kasus jalan besar di Sumut? Sementara di Riau KPK begitu “perkasa” melibas Gubernur Wahid!
Langkah terbuka perkara di Sumut bisa dilihat dari keterangan seorang saksi di persidangan yang menyebutkan telah melaporkan dua proyek jalan kepada Gubernur Sumut Bobby Nasution, meski proyek itu awalnya tak ada anggarannya. Data persidangan mengungkap fakta mematikan: anggaran proyek jalan tersebut melonjak drastis usai pergeseran, dari Rp669 miliar menjadi Rp1,36 triliun (naik 104%).
Pengamat FITRA Sumut Elfenda Ananda menjelaskan bahwa pergeseran anggaran terjadi enam kali dalam waktu singkat—termasuk menambah dana setelah survei lapangan dengan konvoi off-road dan foto lokasi. Skenario cepat dan berlapis ini memunculkan dugaan manipulasi serius di balik proyek infrastruktur. Dalam konteks itulah pertanyaan besar muncul: di mana Gubernur Bobby? Tidurkah atau “menidurkan” kebijakan kontroversial itu?
Majelis Hakim Tipikor Khamozaro Waruwu bahkan menyinggung kemungkinan ada mens rea (niat jahat) di balik rencana anggaran itu. Dalam sidang 15 Oktober lalu, ia meminta Jaksa KPK menghadirkan Bobby sebagai saksi, kuat dugaan sang gubernur mengetahui detail usulan proyek sejak awal. Pernyataan hakim itu dinilai pengamat sudah tepat: berdasarkan fakta persidangan, pergeseran anggaran enam kali lipat itulah “dugaan korupsi” pada proyek jalan Sipiongot–Batas Labuhanbatu. Meski Boboy (panggilan Bobby) sempat turun meninjau lokasi bersama rombongan, hingga kini—hingga rumah hakim itu terbakar pada Selasa (4/11)—KPK tak kunjung mengajaknya bicara.
Alih-alih mengamankan luka publik ini, jubir KPK Budi Prasetyo justru “ngeles”. Ia menegaskan lembaganya belum menemukan keterkaitan Bobby Nasution dalam kasus suap jalan tersebut, penyidikan masih berjalan tanpa ada intervensi. Dengan kalem ia titah, “Bukan tidak, tapi belum,” sambil menunggu bukti lebih lengkap. Pernyataan bak pojok itu justru semakin memantik kecurigaan. Netizen dan tokoh masyarakat ramai mempertanyakan kenapa sosok “Superbobby” tak tersentuh, apalagi karena banyak tersangka kasus itu merupakan orang dekatnya. Seorang pengguna media sosial menulis sinis, “100% @KPK_RI gak akan berani mengusut Bobby menantu Jokowi. Karena orang-orang KPK sudah tersandera Jokowi”, menggambarkan keraguan publik bahwa lembaga antikorupsi ini benar-benar independen.
Asal usul “superbody” KPK sendiri memang bukan tanpa batas. Para pegiat antikorupsi berulang kali menegaskan: KUHAP tetap mengikat, KPK diawasi dan jalur hukumnya bisa dipertanggungjawabkan. Namun tujuan awal kewenangan ekstra ini adalah menembus korupsi terstruktur. Sayangnya, dalam lima belas tahun terakhir KPK malah dihadang dari segala sisi. Debat publik tentang penyadapan atau urun-usul kasus dianggarkan di DPR, menunjukkan “corruptors fight back” semakin nyata. Selalu ada narasi membungkam KPK: kuatir disetir politik, regulasi terus direvisi untuk memperlemah lembaga ini. Padahal yang dulu dianggap pelindung agenda bersih kini sering dijadikan kambing hitam bila salah pangkah.
KPK bukan tempat candaan politik. Jika kewenangan KPK dipersoalkan, perbaikilah undang-undangnya, bukan demi keadilan yang ditekan. Lembaga superbody tidak boleh dipecundangi oleh “manuver politik pemimpin terdahulu”. Di saat negara membutuhkan penegakan hukum yang kokoh, tak boleh ada “Superbobby” yang lolos begitu saja. KPK harus ditegakkan agar berani menindak siapapun—tanpa itu, pertaruhan melawan korupsi akan sia-sia, apalagi ketika Jokowi menjadikan menantunya “Superbobby” di mata lembaga KPK yang tidak “Superbody” lagi!












