Scroll Untuk Membaca

Editorial

Lintah Darat Berwajah Perbankan

Lintah Darat Berwajah Perbankan
Kecil Besar
14px

MA menegaskan pelaksanaan eksekusi atas Hak Tanggungan harus dilakukan di bawah perintah Ketua PN.

Rivaldi Idris, 57 tahun, kehilangan rumah warisan—bukan karena angin, melainkan oleh putaran mesin birokrasi yang lihai. Di alamat yang dulu bertanda keluarga, kini tersisa nota lelang yang seolah mengatakan: hak milik boleh runtuh bila hukum dipaksa menyerah. Kasus Rivaldi bukan kasus pribadi semata; ia adalah potret bagaimana kredit macet di bank UOB Indonesia bisa disulap menjadi industri rampasan yang melibatkan banyak tangan.

Bank—bergaya lintah darat itu—menjual rumahnya lebih murah dari nilai pasar. Dalam pemberitahuan resmi, nilai bersih lelang yang tersisa untuk Rivaldi sekitar Rp1,16 miliar dari hasil limit lelang Rp2,639 miliar—angka yang membuat kita bertanya: siapa untung, siapa rugi, dan mengapa proses yang seharusnya menjadi jalan terakhir itu berjalan kilat?

Hukum tentang eksekusi hak tanggungan semestinya memberi batas tegas. Yurisprudensi Mahkamah Agung dan aturan prosedural menggariskan bahwa pelaksanaan eksekusi atas grosse akta hipotik—kini Hak Tanggungan—seharusnya dilakukan di bawah perintah atau fiat Ketua Pengadilan Negeri. Putusan MA No. 3210 K/Pdt/1984 menjadi rujukan penting untuk memastikan eksekusi tidak berubah menjadi eksekusi bayangan.

Namun praktik di lapangan sering berbeda. Di banyak perkara, lelang berjalan cepat, tanpa menunggu putusan berkekuatan hukum tetap atau tanpa opsi penyelamatan kredit sungguh-sungguh ditempuh sesuai POJK. Otoritas jasa keuangan sejak lama menganjurkan rekayasa restrukturisasi—perpanjangan tenor, penurunan bunga, skema bayar jembatan—sebagai prioritas sebelum aset dilikuidasi. Tapi rekomendasi itu kerap berujung pada dokumen yang berdebu di rak kepatuhan.

Di sinilah munculnya praktik “mafia lelang”—istilah yang populer belakangan, ketika sejumlah kasus mengungkap dugaan rekayasa pemenang lelang dan kolusi antara pegawai lembaga lelang, pihak bank, dan pembeli terkait. Laporan-laporan regional menunjukkan pola: aset dibawa ke meja lelang, pemenang yang muncul bagai sudah “didandani”, harga ambruk, lalu keuntungan dimonopoli kelompok mafia itu. Fenomena ini telah mendapat sorotan publik dan advokasi masyarakat.

Lintah darat modern ini memakai jas perbankan. Mereka tidak lagi mengepung rumah secara fisik, melainkan membebani debitur dengan proses hukum yang berlubang. Debitur yang ingin menegakkan haknya harus menghadapi dua medan: hukum materiil tentang kewajiban kredit, dan hukum prosedural yang seringkali diabaikan—seperti kewajiban menunggu fiat pengadilan atau melakukan upaya restrukturisasi yang wajar sebelum lelang. Ketika koridor hukum dilangkahi, yang tersisa bukanlah keadilan, melainkan kepentingan pihak kuat.

Solusi bukan sekadar meneriakkan moralitas. Ia harus berupa reformasi prosedural: penegakan aturan eksekusi sesuai UUHT dan yurisprudensi MA; pengawasan ketat terhadap proses KPKNL dan pelelangan; transparansi pemenang lelang; serta penegakan POJK soal prioritas restrukturisasi. Negara wajib hadir antara debitur dan bank—bukan sebagai tukang stempel, melainkan sebagai penjaga koridor hukum.

Rivaldi menuntut pembatalan lelang dan ganti rugi. Jika pengadilan membenarkan langkahnya, semoga itu menjadi preseden. Jika tidak, maka ingat: ketika hukum diperalat, rumah-rumah orang jatuh satu per satu, dan lintah-lintah darat masa kini itu terus berdiri tegak—berwajah bank, berperut gelap dipenuhi darah debitur tertindas.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE