Scroll Untuk Membaca

Editorial

Manuver Fiskal Bobby Nasution

Manuver Fiskal Bobby Nasution
Kecil Besar
14px

Sejarah serupa memberi isyarat pada kita. Gatot Pujo Nugroho dipenjara 4 tahun karena “memainkan” RAPBD Sumut bersama pimpinan dan anggota dewan.

Sekiranya APBD Sumut kompas kapal, jarumnya harus menunjuk kesejahteraan publik, bukan galangan proyek yang berkarat rente. Itulah mengapa rangkaian pergeseran anggaran Sumut 2025—yang menurut penelusuran FITRA Sumut mengalir deras ke Dinas PUPR—patut dibaca bukan hanya teknis akuntansi, melainkan manuver politik fiskal. Apalagi nakhodanya adalah gubernur baru, Bobby Nasution, yang dilantik pada 20 Februari 2025.

Dari enam Pergub Februari–Mei, gambar besarnya—menurut kajian FITRA—membentuk satu pola: belanja jalan melonjak, BTT dipangkas, hibah digentongkan. Aturan memang membuka celah pergeseran sebelum Perubahan APBD (Permendagri 77/2020), tetapi ruhnya adalah kedaruratan dan kepentingan publik, bukan pencitraan. PP 12/2019 juga tegas: Belanja Tidak Terduga (BTT) digunakan untuk keadaan darurat atau keperluan mendesak yang tidak dapat diprediksi—bukan untuk membiayai kebutuhan rutin.

Konteks kian berkelindan saat KPK melakukan OTT pada 26 Juni 2025 terkait proyek jalan bernilai Rp231,8 miliar yang menyeret Kadis PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting. Pada momen begini, wajarlah jika publik menuntut audit kebijakan, bukan klarifikasi cakap-cakap basi di ruang ambisi. Karena jejak uang jarang membual; ia selalu meninggalkan bau solar di tikungan jalan.

Detail yang disorot FITRA juga bikin dahi berkerut: pergeseran sekitar Rp425 miliar dari sejumlah dinas ke PUPR mengubah pagu dinas itu membumbung dari Rp800 miliar lebih ke kisaran angka Rp1,25 triliun; BTT dari Rp843,12 miliar dipangkas menjadi Rp106,07 miliar (hanya ±1 persen belanja daerah); belanja operasi naik, termasuk tambahan Rp61,3 miliar untuk hibah rumah ibadah; sementara belanja jalan, jaringan, dan irigasi melompat dari Rp669,9 miliar ke sekitar Rp1,36 triliun. Ini bukan angka biasa; ini peta arah kapal yang sandarannya abstrak. Pertanyaan sederhana: apakah arah itu benar menuju kesejahteraan rakyat Sumut atau cuma menepi di dermaga pencitraan? Simpulkan sendiri!

Sejarah serupa memberi isyarat pada kita. Di Sumut, Gatot Pujo Nugroho dipenjara 4 tahun karena menyuap pimpinan dan anggota DPRD terkait RAPBD—kasus “uang ketok palu” yang merusak tulang punggung demokrasi anggaran. Di Jambi, Zumi Zola terseret perkara suap pengesahan RAPBD 2017–2018 dan divonis 6 tahun; jejaring politisi ikut berjatuhan satu per satu. Bengkulu punya bab sebangun: Ridwan Mukti divonis 8 tahun karena fee proyek jalan—jalan yang mestinya menghubungkan kampung, malah menghubungkan amplop ke meja kekuasaan. Bahkan di level kota, Rahmat Effendi (Bekasi) akhirnya memikul 12 tahun penjara dalam perkara korupsi yang bertaut dengan kebijakan anggaran—peringatan keras bahwa “tata kelola” bisa berubah menjadi nama panggilan “berbagi rente”.

Karena itu, mengusut Sumut 2025 perlu dua kacamata sekaligus. Pertama, legalistik: apakah dasar pergeseran tepat? Jika Pergub mencomot klausul “mendesak”, tunjukkan bukti kedaruratan; jika memakai BTT, buktikan adanya kejadian luar biasa. Tanpa itu, aturan berubah menjadi jembatan gantung: tampak sah, rapuh dipijak. Kedua, ekonomi-politik: apakah lonjakan belanja modal—terutama jalan—memberi nilai tambah terukur bagi petani, UMKM, irigasi produktif, dan layanan dasar? Jika tidak, itu bukan pembangunan; itu cuma koreografi beton.

Di atas semuanya, analisis FITRA adalah alarm, bukan vonis. Namun alarm yang baik harus dijawab dengan: KPK menelisik jejak kebijakan; Kemendagri menggelar eksaminasi APBD; Pemprov membuka data detail pergeseran, kontrak, hingga daftar penerima hibah. Transparansi adalah vaksin terhadap spekulasi; keterbukaan adalah rem tangan bagi godaan rente.

Di kapal “berbendera” APBD Sumut, pilihannya cuma tiga: tetap di jalur publik, menepi di dermaga pencitraan, atau karam bersama logam korosi bernama korupsi? Sumut mesti memilih yang pertama—dan memilihnya sekarang. Luruskan kompas, buka peta, biarkan angka—bukan wacana—menjadi nakhoda; agar fiskal bergerak di atas roda aturan bukan terkunci manuver politik uang, perempuan, dan kekuasaan.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE