Scroll Untuk Membaca

Editorial

Meminjam Tangan Hukum, Merampas Harta Waris

Meminjam Tangan Hukum, Merampas Harta Waris
Kecil Besar
14px

Semua yang terlibat bisa dilaporkan pidana, perampasan harta waris. | J Kamal Farza, Pengacara Senior.

Mereka datang dengan toga hitam dan surat perintah pengadilan. Di balik bahasa hukum yang kaku, terselip drama kemanusiaan: rumah yang pernah menjadi tempat bernaung keluarga kini dilelang. Nama pengadilan diseret untuk membenarkan tindakan yang sejatinya mencederai nurani. Inilah potret suram keadilan yang kian kehilangan jiwa— ketika “merampas” dilakukan dengan tangan negara.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Kasus sengketa hukum almarhum dr. M. Saleh Suratno dengan Yayasan Teungku Fakinah di Banda Aceh menjadi contoh paling nyata tentang bagaimana hukum bisa dijalankan tanpa hati, bahkan tampak seperti alat kekuasaan segelintir pihak. Di atas kertas, semuanya kelihatan sah. PN Banda Aceh menyebut pelaksanaan eksekusi itu berdasar putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Semua prosedur, katanya, sudah ditempuh: dari aanmaning, sita eksekusi, hingga pengajuan lelang ke KPKNL.

Namun di balik formalitas hukum itu, ada yang janggal dan menyesakkan. Subjek hukum telah berubah: dari almarhum Saleh Suratno menjadi ahli waris. Tapi eksekusi tetap dijalankan tanpa surat kuasa khusus baru dari mereka yang kini memegang hak atas harta tersebut. Dalam hukum perdata, tindakan semacam ini bukan hanya kelalaian administratif, tapi cacat formil yang bisa membuat seluruh proses batal demi hukum.

Khalied Affandi, kuasa ahli waris, menegaskan hal itu dengan gamblang. Ia menyebut eksekusi ini bukan hanya keliru secara hukum, tapi juga melanggar rasa keadilan. “Hukum tidak boleh kehilangan hati nurani,” ujarnya. Sebagian tanah yang dieksekusi adalah rumah dan sumber penghidupan keluarga almarhum. Tapi roda hukum terus berputar tanpa jeda untuk empati.

Ironisnya, lembaga peradilan yang seharusnya menjadi penegak keadilan justru terkesan menjadi bagian dari mesin yang menggiling hak rakyat. “Humas PN membela habis-habisan pihak lawan,” kata ahli waris, menuding ada keberpihakan yang kasar dalam proses ini. Bila benar, maka yang dipertaruhkan bukan hanya satu perkara, tapi martabat lembaga peradilan itu sendiri.

Keadilan bukan melulu soal menjalankan putusan inkracht. Ia menuntut kebijaksanaan, konteks, dan keberpihakan pada kebenaran substantif. Dalam perkara ini, perbedaan mencolok antara vonis pidana dan perdata—Rp7,17 miliar versus Rp14,51 miliar—menunjukkan betapa hukum kita sering kali kehilangan konsistensi dan logika keadilan. Di satu sisi, negara menyebut Saleh Suratno bersalah. Di sisi lain, negara yang sama mengabulkan nilai ganti rugi dua kali lipat dari vonis pidananya.

Dalam negosiasi awal dengan Ainal Mardhiah, ketua Majelis Hakim yang dulu menangani perkara itu—kini hakim agung—, ahli waris datang meminta keringanan, bukan menyetujui lelang harta bersama (waris). “Bahkan kami telah membayar Rp5 miliar,” kata ahli waris.

Tapi, pengadilan tetap memerintahkan lelang atas aset yang sebagian besar merupakan harta bersama (gono-gini) meski tak ada satu putusanpun tentang itu. Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jelas menyatakan bahwa tindakan atas harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Dalam hal ini, suami telah meninggal; maka logika hukum mengharuskan pembagian faraidh terlebih dahulu. Tapi pengadilan tampaknya lupa: di atas teks undang-undang, ada hak hidup keluarga yang tersisa.

Pengacara senior J. Kamal Farza menyebut tindakan lelang ini “tidak bisa dibiarkan”. Ia mengutip Kompilasi Hukum Islam dan yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan: penjualan harta bersama tanpa persetujuan adalah batal demi hukum. Bila benar pengadilan menutup mata terhadap prinsip ini, maka yang terjadi bukan lagi pelaksanaan hukum, melainkan penyalahgunaannya. “Semua yang terlibat bisa dilaporkan pidana, perampasan harta waris,” tegas Kamal Farza.

Di ruang-ruang gelap peradilan, mafia lelang kerap menari gembira. Mereka tahu betul celah prosedur: cukup dengan surat dan tanda tangan, rumah orang bisa berubah jadi angka di layar KPKNL. Dalam kasus Saleh Suratno, tangan yang bekerja mungkin tampak bersih, tapi jejaknya berbau busuk: ketidakadilan yang dilegalkan.

Kita tidak sedang menolak hukum. Kita menolak hukum yang kehilangan moral. Karena keadilan sejati tidak lahir dari kertas putusan, tapi dari hati nurani yang berani berkata: tidak semua yang sah adalah benar.

Jika pengadilan terus meminjamkan tangannya untuk merampas hak rakyat, maka sejarah akan mencatatnya bukan sebagai pelindung hukum, melainkan sebagai kaki tangan ketidakadilan. Dan ketika rakyat tak lagi percaya pada peradilan, maka negara kehilangan fondasinya yang paling suci: kepercayaan.

Hukum boleh keras, tapi keadilan seharusnya lembut. Di titik itulah, pengadilan mesti bercermin: apakah mereka sedang menegakkan keadilan, atau hanya menjalankan prosedur untuk menjustifikasi perampasan yang berbalut legalitas; mafia lelang.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE