Di Jawa Timur, skandal dana hibah yang berujung tersangka dan penyitaan aset oleh KPK baru saja bergulir.
Gedung megah yang tak selesai kadang lebih lantang bercerita daripada isi pidato seremonial Gubernur Sumut Bobby Nasution. Gedung itu meratap dalam beton yang retak, menulis jejak anggaran yang tidak pernah pulang pada pemiliknya: rakyat. Itulah cerita Gedung Kolaborasi UMKM Square di kampus Universitas Sumatera Utara (USU): proyek yang seharusnya menjadi simbol kemitraan publik-swasta malah berubah menjadi tumpukan tanda tanya anggaran dan tuduhan penyimpangan.
Angka-angkaranya ringkas namun menggelisahkan: kontrak pembangunan tahap pertama senilai Rp97,65 miliar (APBD Pemko Medan 2023–2024), tambahan sarpras Rp19 miliar dari APBD 2025, dan—kata warga dan aktivis—hibah Pemprov Sumut Rp41 miliar yang konon “menutup borok” sisa pengerjaan. Total alokasi itu menyentuh kisaran Rp116–122 miliar, untuk sebuah fasilitas yang molor, berulang kali di-adendum (tujuh kali), dan dalam audit BPK ditemukan potensi kerugian negara lebih dari Rp1 miliar akibat kekurangan volume material dan praktik mark-up. Proyeknya berjalan selama 450 hari kalender namun belum selesai sesuai janji.
Kegalauan publik tak hanya soal bangunan yang mangkrak; ia berjibun menjadi masalah integritas fiskal. Ketika aliran uang publik—yang mestinya melalui mekanisme pengadaan terbuka, LPSE, dan kajian kebutuhan—berujung pada hibah berjumlah puluhan miliar yang tidak transparan, maka muncul dugaan politik anggaran yang bukan lagi instrumen pelayanan, tapi bantalan reputasi.
Tidak hanya masyarakat yang kecewa, kalangan akademis juga angkat bicara. Elfenda Ananda, pengamat kebijakan publik, dengan keras menyatakan bahwa proyek ini seharusnya bisa menjadi peluang pengembangan ekonomi lokal, namun justru berpotensi merugikan masyarakat. “Harus ada transparansi dan akuntabilitas, bukan hanya dalam perencanaan, tapi juga dalam pelaksanaan dan pengawasan,” katanya. Apa yang seharusnya menjadi sarana pemberdayaan UMKM, malah berubah menjadi potret kegagalan birokrasi dan pemborosan anggaran yang tak berkesudahan.
Aksi mahasiswa dan organisasi hukum juga menuntut jawaban; Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pun mencatat kasus ini dalam radar penyelidikan. Publik berhak tahu siapa yang mengambil keputusan, atas dasar hukum apa, dan kenapa proyek multilayer ini menelan biaya lebih besar tanpa hasil yang jelas.
Kisah ini bukan anomali semata. Di sejumlah provinsi, skandal dana hibah berujung proses hukum kini semakin sering terkuak: dari kasus dana hibah PMI Riau hingga vonis pengadilan, sampai dana hibah di Jawa Timur yang menyeret puluhan tersangka dan penyitaan aset oleh KPK. Semua menunjukkan satu pola familiar: kelemahan pengawasan, celah regulasi, dan relasi politik-eksekutif-birokrasi yang rapuh. Bila hukum tajam, maka jangan biarkan ia hanya menumbuk kepala-kepala kecil sementara pemegang kuasa politik tetap berlalu tanpa pertanggungjawaban.
Apa yang harus dilakukan? Pertama, buka semua dokumen: naskah hibah, dasar hukum pencairan, LPSE, hasil audit lengkap BPK, dan kontrak kontraktor—publik punya hak mengakses. Kedua, proses hukum harus berjalan adil dan tanpa diskriminasi jabatan; investigasi harus mengurai rantai keputusan, bukan hanya kambing hitam di bawah. Ketiga, memperbaiki regulasi hibah dan memperketat pengawasan internal agar anggaran daerah tak lagi menjadi alat mitigasi citra politik.
Di balik “gembar gembor” kolaborasi, ujungnya kembali ke soal moral Gubernur Sumatera Utara. Seorang pemimpin sejatinya bisa memilih mau menjadi arsitek integritas atau hanya mandor proyek setengah jadi yang dibiayai uang rakyat. Gedung yang mangkrak itu bukan hanya bangunan, melainkan sorot wajah kekuasaan: apakah Bobby Nasution ingin dikenang sebagai gubernur yang menambal boroknya sendiri dengan dana publik, atau pemimpin yang berani memutus rantai busuk politik anggaran?
Demokrasi anggaran bukan dekorasi. Ia adalah ujian kepemimpinan. Bila jawaban Bobby adalah membiarkan gedung itu berdiri sebagai monumen korupsi, maka sejarah yang akan menghakimi lebih keras daripada dakwaan jaksa KPK—yang bisa jadi kelak memeriksanya di ruang gelap tanpa sang “mentua”!