Kelancungan politik menandakan rendahnya kecakapan seseorang dalam memimpin sebuah daerah.
Di tengah kubangan banjir dan lumpur longsor di Sumatera Utara, publik tiba-tiba disuguhi tontonan lain: permainan sulap anggaran di kantor gubernur. Bukan abrakadabra yang mengeluarkan kelinci dari topi, melainkan trik lama yang membuat ratusan miliar rupiah di Belanja Tak Terduga seolah menyusut jadi angka recehan. Di sinilah lahir istilah yang layak disematkan: gubernur karbitan—cepat matang di panggung pencitraan karena menantu presiden, tapi gosong ketika diuji transparansi.
Perkumpulan Suluh Muda Inspirasi (SMI) dan peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut membuka tabir yang selama ini diselimuti konferensi pers manis. Direktur Eksekutif SMI, Christian Redison Simarmata, bersama Elfenda Ananda dari Fitra, menyebut polemik anggaran bencana Sumut bukan lagi soal teknis pergeseran pos. Ini soal integritas, kepemimpinan, dan kejujuran pemerintah kepada warganya.
Sebelumnya, Gubernur Sumut Bobby Nasution dengan mantap membantah telah memangkas anggaran bencana 2025. Di hadapan kamera, ia menyebut angka yang disahkan bersama DPRD “hanya” Rp123 miliar. Bila publik mendengar kabar bahwa awalnya anggaran bencana mencapai lebih dari Rp800 miliar, gubernur mempersilakan merujuk ke RAPBD: semua, katanya, terdokumentasi dengan baik.
Alasan berikutnya lebih elok: efisiensi. Inpres No. 1 Tahun 2025 dijadikan tameng; pusat menyuruh efisiensi, daerah pun patuh. Dana yang “diefisiensikan” itu, menurut gubernur, dipindahkan ke Belanja Tak Terduga—pos yang kemudian dipakai membayar bonus atlet PON dan Peparnas 2024 serta memperbaiki jembatan putus di Nias Barat. BTT, dalam logika ini, adalah kotak serbaguna: cukup luas menampung bencana alam, bonus olahraga, dan proyek infrastruktur yang lupa dianggarkan.
Sayangnya, sulap hanya bekerja selama penonton tak memegang naskah. SMI dan Fitra datang membawa teks asli: Pergub Sumut Nomor 7 Tahun 2025. Di sana tertulis hitam di atas putih, BTT ditetapkan sebesar Rp843 miliar. Dokumen resmi, ditandatangani Pj Gubernur Agus Fatoni dan diundangkan pada 10 Februari 2025. Selisih dengan angka yang kini dikumandangkan gubernur—Rp123 miliar—bukan cuma perkara koma yang meleset, tetapi jurang angka Rp720 miliar.
Di dunia anggaran, Rp720 miliar bukan salah ketik. Ia cukup besar untuk membangun kembali ratusan jembatan desa yang terseret banjir. Penyintas bencana yang kelaparan dan kehilangan harta benda. Maka pertanyaan SMI dan Fitra menjadi sangat masuk akal: apakah gubernur tidak membaca dokumen pemerintahannya sendiri, atau sengaja menyembunyikannya? Tidak ada ruang abu-abu. Ketika pernyataan politik bertolak belakang dengan dokumen hukum, yang muncul bukan kekeliruan sepele, melainkan aroma ketidakjujuran.
Apalagi terungkap, menurut Fitra, ada tujuh kali pergeseran BTT yang tak pernah dijelaskan kepada publik. Di era ketika warga diminta urunan donasi lewat dompet digital untuk korban banjir, pemerintah provinsi justru memperlakukan informasi anggaran seperti rahasia dapur keluarga bangsawan. Transparansi dijadikan jargon setiap pidato, tapi peta keuangan disembunyikan rapat-rapat di balik kalimat “silakan cek sendiri”.
Di sinilah satire menemukan panggungnya. Di atas puing rumah hanyut di Langkat dan Deli Serdang, kita melihat seorang gubernur yang sibuk menerangkan bahwa semua baik-baik saja, hanya soal perbedaan tafsir angka. BTT dipakai untuk bonus atlet? Tentu saja mulia. Jembatan Nias Barat dibiayai uang darurat? Terkesan sigap. Yang tak dijelaskan: mengapa dana bencana justru mengalir ke pos yang seharusnya sudah memiliki mata anggaran tersendiri.
Gubernur karbitan adalah sosok yang fasih mengucap kata “efisiensi”, tetapi gagap ketika diminta menunjukkan dokumen realokasi. Ia lihai mengelola narasi, tapi tersandung ketika publik menemukan Pergub yang ia lupakan. Dalam situasi bencana, gaya memutar fakta semacam ini bukan hanya memalukan, melainkan berbahaya: kepercayaan publik yang runtuh adalah longsor kedua setelah tanah di perbukitan.
Pertanyaan kuncinya sederhana: ke mana sebenarnya diarahkan Rp720 miliar selisih BTT itu? Jika memang sudah direalokasi, di mana berita acaranya, apa dasar hukumnya, dan mengapa tak pernah disampaikan terang-benderang kepada warga yang pajaknya menjadi bahan bakar APBD? Pemerintahan yang tak mampu menjelaskan anggarannya sendiri adalah pemerintahan yang pantas diragukan moral politiknya.
Polemik ini hanya bisa berakhir dengan satu cara: membuka seluruh data, bukan menambah panjang daftar bantahan. Sumut yang sedang berduka tidak butuh pidato penuh metafora, melainkan kepastian bahwa setiap rupiah dana bencana benar-benar dipakai menyelamatkan nyawa, bukan menambal lubang kewajiban lain.
Jika seorang gubernur lebih sibuk mengelola citra daripada menjelaskan angka, maka sebutan “gubernur karbitan” bukan lagi sindiran tajam, melainkan diagnosis. Dan selama informasi Rp720 miliar itu tetap tak dijelaskan utuh ke publik, banjir kecurigaan akan jauh lebih sulit surut dibanding air di sungai-sungai Sumatera Utara yang meluap karena akumulasi “dosa ekologis” dan “dosa kebijakan” itu.











