Editorial

Menguji Nyali KPK Panggil Bobby Lewat PN Jaksel

Menguji Nyali KPK Panggil Bobby Lewat PN Jaksel
Kecil Besar
14px

Ketidakhadiran KPK di ruang sidang menambah kesan enggan berhadapan dengan argumen terbuka.

Di ruang sidang yang tak terlalu luas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, gugatan praperadilan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terhadap KPK sejatinya bukan cuma urusan administrasi. Di sana sedang diuji hal yang lebih mendasar: keberanian lembaga antirasuah menjalankan mandat ketika yang dipersoalkan adalah mangkraknya pemanggilan Gubernur Sumatera Utara sekaligus menantu presiden, Bobby Nasution.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Kasusnya berawal dari operasi tangkap tangan KPK di Mandailing Natal yang menyeret mantan Kadis PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting, serta sejumlah pejabat dan kontraktor. Mereka didakwa menerima suap dan fee sekitar 4 persen dari proyek pembangunan dan preservasi jalan bernilai ratusan miliar rupiah di lingkungan Dinas PUPR Sumut. Proyek yang mestinya menghubungkan kampung-kampung dengan kota, di tangan para pelayan publik itu berubah menjadi ladang ijon anggaran.

Namun di balik dakwaan yang tampak rapi, benang kusut muncul. Uang tunai Rp2,8 miliar yang disita dari rumah Topan saat penggeledahan tidak tercantum dalam surat dakwaan jaksa. Keganjilan ini dipersoalkan publik serta MAKI sebagai indikasi penanganan perkara yang setengah hati. Pada saat yang sama, KPK dinilai lamban menindaklanjuti perintah pengadilan untuk memanggil pihak-pihak yang dianggap mengetahui skema anggaran dan pengaturan proyek tersebut, termasuk Gubernur Bobby.

Kejanggalan kian jelas ketika Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Medan memerintahkan KPK menghadirkan Gubernur Sumut dan Sekda sebagai saksi, tetapi perintah itu tak pernah dijalankan. Bobby tidak pernah muncul di kursi saksi, baik di tahap penyidikan maupun persidangan. MAKI menyebut sikap KPK itu sebagai pembangkangan terhadap perintah pengadilan dan mendaftarkan gugatan praperadilan bernomor 157/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL untuk memaksa lembaga itu patuh.

Alih-alih menjawab secara terbuka, KPK absen pada sidang perdana praperadilan dan meminta penundaan satu pekan dengan alasan menyiapkan jawaban. Secara prosedural, permintaan waktu itu sah-sah saja. Namun di mata publik, ketidakhadiran KPK di ruang sidang menambah kesan enggan berhadapan dengan argumen terbuka. Mantan anggota Komisi Yudisial, Farid Wajdi, mengingatkan: perintah hakim bukan saran, tetapi instruksi hukum yang wajib dilaksanakan; menunda dan mengabaikannya berarti mengoyak asas akuntabilitas.

Pimpinan dan juru bicara KPK menyatakan penanganan perkara proyek jalan Sumut telah dilakukan sesuai prosedur dan belum ditemukan bukti yang cukup untuk memeriksa Bobby. Dewan Pengawas juga sedang memeriksa kasatgas, jaksa, dan jajaran terkait dugaan etik dalam penanganan kasus ini. Di atas kertas, ini terlihat sebagai mekanisme check and balance. Namun publik melihat hal berbeda: saksi kunci tak kunjung dipanggil, uang miliaran hasil OTT tercecer dari dakwaan, dan perkara yang berisiko menyusut menjadi kasus “kelas menengah”.

Di titik inilah praperadilan MAKI menjadi penting. Secara hukum, permohonan itu menguji apakah penundaan pemanggilan saksi dan pengabaian barang bukti bisa dikualifikasi sebagai penelantaran perkara—objek baru yang diakui KUHAP hasil revisi, sebagaimana disinggung para pemohon. Secara politik, gugatan ini adalah cara warga yang jalan dan anggaran daerahnya dipreteli untuk meminta penjelasan yang jujur.

Nama Bobby hingga kini memang belum pernah disebut KPK sebagai tersangka, dan itu harus dihormati. Namun sebagai kepala daerah yang ikut mengesahkan perubahan APBD, meninjau proyek, dan memimpin birokrasi yang pejabatnya kini duduk di kursi terdakwa, ia punya kewajiban moral dan hukum untuk memberi keterangan. Menjadikannya saksi bukan bentuk penghakiman, melainkan syarat agar perkara ini utuh.

Cara KPK menyikapi praperadilan akan menjadi cermin mutu reformasi hukum di negeri ini. Bila KPK kembali berlindung di balik kalimat klise “semua sudah sesuai prosedur” sambil mengabaikan perintah hakim dan desakan publik, pesan yang sampai ke warga desa di pinggir jalan berlubang itu sederhana saja: hukum tegas kepada mereka yang tak punya kuasa, tapi gamang ketika berhadapan dengan lingkar kekuasaan.

Sebaliknya, bila KPK berani memanggil Bobby dan saksi-saksi lain yang selama ini dibiarkan di pinggir berkas, melengkapi dakwaan dengan seluruh uang sitaan, dan membuka di mana sebenarnya tersumbatnya perkara, lembaga itu bukan hanya mematuhi pasal, tetapi juga memulihkan kepercayaan rakyat. Pada akhirnya, yang diuji di PN Jaksel bukan nyali seorang gubernur, melainkan nyali KPK sendiri: apakah ia masih milik publik, atau sudah berubah menjadi bagian dari tata krama politik yang takut menatap mata kekuasaan.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE