Pejabat senior yang dikenal santun itu disuruh keluar dari ruangan oleh Gubernur Bobby di hadapan pejabat pusat.
Kabar mundurnya dua pejabat eselon II di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara bukan cuma berita administratif. Ini juga bukan soal surat pengunduran diri yang masuk ke meja Badan Kepegawaian Daerah. Ini gejala ego sentris. Sebuah tanda bahwa kepemimpinan Gubernur Bobby Nasution semakin menebal dengan aroma arogansi dan menipis dengan rasa meritokrasi.
Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Hasmirizal Lubis, disebut mundur setelah “diusir” Gubernur Bobby di sebuah acara yang dihadiri menteri perumahan. Tak lama, Kadis Perkebunan dan Peternakan, Zakir Syarif Daulay, dikabarkan ikut mengundurkan diri. Dua mundur dalam waktu berdekatan, bukan kebetulan. Ini refleksi dari suasana kerja yang makin sumpek, di mana kehormatan senior bisa diabaikan hanya karena gubernurnya menantu presiden Jokowi.
Dari informasi internal Pemprov Sumut yang dikutip Waspada.id, peristiwa “pengusiran” itu memantik luka batin. Hasmirizal, pejabat senior yang dikenal santun, disuruh keluar dari ruangan oleh Gubernur Bobby di hadapan pejabat pusat. “Masa orang tua digituin,” kata sumber dari lingkungan Pemprov. Kalimat pendek, tapi sarat makna: ada kemarahan yang ditelan karena hierarki kekuasaan kini digerakkan oleh ego, bukan etika.
Ironis, di tengah jargon reformasi birokrasi dan tata kelola profesional, Bobby justru tampak memperlakukan jabatan sebagai alat ukur loyalitas, bukan kompetensi. Di lingkungan Pemprov Sumut, sudah menjadi rahasia umum: siapa yang tidak sejalan dengan ritme politik “Istana Medan” akan terpinggirkan, seberpengalaman apa pun dia.
Birokrasi yang semestinya jadi mesin rasional kini digerakkan oleh emosi. Pengangkatan pejabat pun kerap lebih menyerupai urusan “siapa dekat dengan siapa”, bukan “siapa mampu melakukan apa”. Ini bukan meritokrasi—ini feodalisme gaya baru dengan baju modern.
Padahal, meritokrasi adalah fondasi dasar birokrasi yang sehat. Ia memastikan jabatan diisi oleh orang yang paling layak, bukan yang paling disukai. Ketika prinsip itu ditinggalkan, maka yang muncul adalah pejabat penurut, bukan pejabat berpikir. Dan pemerintahan pun kehilangan daya inovatif karena orang-orang cakap memilih diam, takut “diusir” seperti Hasmirizal.
Sikap diam Gubernur Bobby ketika dikonfirmasi Waspada.id hanya menegaskan kecenderungan itu. Tidak menjawab, tidak mengklarifikasi, seolah publik tak layak tahu. Padahal, seorang pemimpin publik tak hanya bekerja di balik meja dan kamera, tetapi juga bertanggung jawab atas atmosfer kerja yang ia ciptakan.
Jika benar Hasmirizal mundur karena harga dirinya dilukai, maka ini bukan semata soal temperamen gubernur. Ini soal krisis etika kepemimpinan. Ketika pejabat publik memperlakukan bawahannya dengan arogansi, maka yang rusak bukan hanya hubungan personal, melainkan juga kepercayaan terhadap institusi.
Sumatera Utara bukan perusahaan keluarga. Ia adalah rumah bagi jutaan warga yang berhak mendapat pelayanan publik yang profesional dan beradab. Tapi bagaimana mungkin birokrasi bekerja dengan baik jika para pejabatnya tak lagi merasa dihargai?
Bobby Nasution mungkin percaya bahwa gaya kepemimpinan keras dan “cepat ambil keputusan” akan membuat pemerintahan lebih efisien. Tapi tanpa empati dan penghormatan pada etika, yang tersisa hanya ketakutan. Dan birokrasi yang diatur dengan rasa takut akan melahirkan kepatuhan semu, bukan kinerja nyata.
Di bawah kepemimpinan semacam itu, Sumut berisiko berubah menjadi laboratorium kekuasaan yang antikritik, tempat meritokrasi dikubur dan keangkuhan dijadikan kebiasaan birokrasi. Jika demikian, mundurnya dua pejabat hanyalah prolog dari cerita yang lebih muram—karena setelah yang cakap tersingkir, yang tersisa hanyalah barisan “penjilat” yang menunggu perintah.
Dan ketika setiap pejabat belajar diam demi aman, pemerintahan pun kehilangan nurani dan arah. Tak ada lagi ruang bagi ide, hanya dengung dari satu suara yang merasa selalu benar. Pada titik itu, rakyat bukan lagi subjek yang dilayani, melainkan penonton dari drama kekuasaan yang semakin dangkal ini.
Sebab, di negeri yang menyingkirkan orang berintegritas, kehancuran bukan datang tiba-tiba—ia direncanakan dari meja kekuasaan yang, bukan rahasia lagi, berlumur aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme.