Scroll Untuk Membaca

Editorial

Pembangkangan Dari Kampus

Pembangkangan Dari Kampus
Kecil Besar
14px

Setya Novanto berulang kali tak memenuhi panggilan perkara e-KTP; akhirnya dijemput paksa.

Kampus selalu kita bayangkan sebagai menara air—bukan menara gading—yang menyejukkan akal sehat publik. Maka ketika seorang rektor memilih absen dari panggilan penegak hukum, sinyal yang mengalir ke hilir adalah bau anyir, bukan kesejukan. Kasus Rektor USU, Prof. Muryanto Amin, yang tak memenuhi panggilan perdana KPK sebagai saksi perkara proyek jalan Sumut, membuat kita bertanya: apakah nilai-nilai akademik hanya kokoh di podium wisuda, tetapi rapuh di ruang pemeriksaan? KPK sendiri menegaskan Muryanto berada di “lingkar” informasi perkara yang menjerat Topan Ginting, sehingga keterangannya “dibutuhkan” dan pemanggilan ulang disiapkan.

Panggilan pertama—dijadwalkan 15 Agustus 2025 di KPPN Padangsidimpuan—tidak dipenuhi. Ini bukan perkara absen biasa; ini soal pesan. Jika kampus adalah laboratorium etika, maka mangkir adalah eksperimen buruk yang tak pantas dipertontonkan. Ketika seorang pejabat akademik menghindari ruang klarifikasi, yang ia tinggalkan pada mahasiswa bukan kebenaran metodologis, melainkan “metodologi menghindar”.

Kita paham, panggilan KPK bukan panggilan arisan. Ia adalah mekanisme akuntabilitas negara; semacam “pajak transparansi” yang wajib dibayar siapa pun yang mengetahui perkara publik. Hadir, bersaksi, dan jujur—itulah paket dasarnya. Bila teladan dari kampus justru meliuk-liuk, publik akan belajar bahwa akal bisa diakali dan nurani bisa dinegosiasi. Itulah “pembangkangan dari kampus”: elegan di brosur, absen di daftar hadir.

Sebagian orang akan berkata, “Tenang, toh baru sekali tak hadir—bisa dijadwal ulang.” Benar. Tetapi sejarah politik hukum kita menunjukkan, mangkir kerap menjadi teknik permainan waktu. Ingat Setya Novanto yang berulang kali tak memenuhi panggilan perkara e-KTP sebelum akhirnya dijemput paksa. Ingat pula Hasto Kristiyanto yang sempat tak memenuhi panggilan lalu meminta penjadwalan ulang. Pola seperti ini mengajarkan kebiasaan buruk: menunda hari ini, merumitkan esok, memiskinkan kepercayaan.

Perkara jalan Sumut sendiri bukan sandiwara kecil. KPK telah menahan lima tersangka dan memetakan klaster pekerjaan yang diduga dilumuri suap. Rantai peristiwanya telanjang: proyek publik, wewenang pejabat, akses kontraktor, serta kebocoran yang ditambal paksa lewat OTT. Di ruang inilah kesaksian rektor menjadi mata air: ia bisa mengalirkan fakta yang mencerahkan, atau berubah keruh bila tertahan di bendungan alasan. “Tidak hadir” hanya memperpanjang kecurigaan, membuat opini publik bekerja lembur tanpa data.

Tentu, KPK juga punya pekerjaan rumah: komunikasi yang rapi, prosedur yang presisi, dan langkah yang tegas namun adil. Publik berhak melihat garis besar perkara—siapa, bagaimana, dan sejauh mana aliran kebijakan serta uang bergerak—agar ruang spekulasi menyempit. Ketika institusi kuat dan transparan, alasan untuk mangkir menipis setipis notula. Ketegasan yang konsisten membuat panggilan hukum terasa seperti ajakan dialog, bukan jebakan.

Lalu apa yang bisa dilakukan kampus? Pertama, tegakkan standar etik internal: pejabat akademik wajib kooperatif dengan penegak hukum, tanpa drama dan tanpa retorika pengabur. Kedua, pisahkan dukungan moral dari pembenaran tindakan; melindungi marwah bukan berarti menutup mata. Ketiga, jadikan peristiwa ini kuliah umum integritas: jabatan bukan mantel anti-hukum, reputasi ilmiah bukan payung kebal hukum. Keempat, ajarkan “kompetensi hadir”—hadir tepat waktu, hadir memberi terang, hadir menutup celah rumor.

Pada akhirnya, rektor bukan hanya administrator; ia simbol nilai. Ketika simbol memilih absen, makna ikut menipis. Kita tidak menuntut kesempurnaan—hanya kehadiran. Hadir untuk menerangkan apa yang diketahui. Hadir untuk memperkuat due process. Hadir untuk menunjukkan bahwa kampus tetap berdiri di sisi publik. Sebab jika pembangkangan dibiarkan, ia akan menjelma kurikulum bayangan yang diam-diam kita wariskan pada generasi berikutnya. Saat itu terjadi, yang runtuh bukan cuma nama baik seorang rektor, melainkan wibawa ilmu pengetahuan itu sendiri.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE