Editorial

“Peradilan Semu” Pembunuhan Ripin

“Peradilan Semu” Pembunuhan Ripin
Kecil Besar
14px

Dalam kasus Ripin, penyidik gagal mempertahankan legalitas tindakan kunci—mulai dari administrasi penyidikan hingga penahanan, atau bisa jadi, ini ada unsur kesengajaan.

Di Deliserdang, hukum tampaknya punya dua wajah. Wajah pertama: tebal, berwibawa, dan penuh stempel. Wajah kedua: tipis, gampang sobek, dan—kalau perlu—bisa dilipat jadi surat bebas. Kasus kematian Ripin alias Achien, 23 tahun, seperti memamerkan keduanya sekaligus: dari “kecelakaan” yang tak pernah benar-benar kecelakaan, sampai praperadilan yang membuat publik bertanya apakah negara sedang mengadili, atau sekadar memainkan peradilan semu?.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Ripin ditemukan tewas pada 27 April 2025. Versi awal yang beredar: tabrak lari. Tapi unit Gakkum Satlantas justru menemukan kejanggalan antara keterangan saksi dan hasil olah TKP, sehingga perkara bergeser ke ranah pidana umum dan ditangani Satreskrim. Pada titik itu, semestinya mesin hukum bergerak cepat dan disiplin: rapi, teliti, dan terang-benderang. Yang terjadi justru sebaliknya: lamban, sunyi, dan menyisakan ruang kosong—ruang yang membangun gunjingan bahwa kasus ini “masuk angin”.

Keluarga korban dan kuasa hukumnya, Mardi Sijabat, berulang kali menyebut penyelidikan tersendat dan komunikasi minim. Sijabat menduga ada permainan duit antara tersangka dan oknum di kepolisian. Ia pun “geram” dan lantas mengirim surat ke Kapolda Sumut, Kapolri, hingga Komisi III DPR RI untuk meminta atensi. Lima bulan lebih berjalan, baru pada 27–28 Oktober 2025 Juwita (bibi korban) dan Kevin (anak Juwita) ditetapkan sebagai tersangka.

Namun yang paling ganjil bukan hanya telat dalam perkara menetapkan tersangka. Yang ganjil adalah cara negara “muncul” setelah lama menghilang. Publik justru mengetahui kabar itu (penetapan tersangka) dari pengacara, sementara Polresta Deliserdang tak kunjung menggelar konferensi pers untuk memberi penjelasan utuh. Di saat yang sama, perkara sebesar ini—yang sempat “menghebohkan” publik—seolah dibiarkan dibuat remang-remang: bukti apa yang dipegang, konstruksi peristiwanya bagaimana, dan mengapa baru sekarang?

Lalu datang praperadilan. Pada 11 Desember 2025, hakim tunggal PN Lubuk Pakam Adil Martogu Franky Simarmata mengabulkan praperadilan yang diajukan Juwita dan Kevin; penetapan tersangka dinyatakan tidak sah: batal demi hukum, dan keduanya harus dilepaskan dari tahanan. Polisi mengakui putusan itu dan menyatakan akan “pemberkasan ulang”.

Di sinilah ironi itu memuncak: praperadilan yang seharusnya menjadi kontrol terhadap kesewenang-wenangan, dalam kasus ini justru terasa seperti pintu darurat yang dibuka lebar oleh kecerobohan aparat sendiri. Mantan anggota Komisi Yudisial (2015–2020) Farid Wajdi menyebut praperadilan menuntut ketelitian administratif dan kecermatan prosedural; kealpaan kecil sejak awal bisa meruntuhkan fondasi perkara. Dalam kasus Ripin, katanya, penyidik gagal mempertahankan legalitas tindakan kunci—mulai dari administrasi penyidikan hingga penahanan, atau bisa jadi, ini ada unsur kesengajaan agar tersangka bebas.

Sungguh, kalau perkara pembunuhan adalah bangunan, maka polisi membangun rumahnya di atas pasir: tampak berdiri kokoh, tetapi runtuh begitu diuji. Padahal, penyidik sudah menggelar prarekonstruksi di beberapa lokasi. Artinya: energi operasional ada, tetapi energi administratif—yang justru menentukan sah tidaknya tindakan paksa—entah diabaikan, entah tidak dikuasai, atau entah ada kesengajaan dari oknum jahat yang ingin mengorbankan institusi polisi demi keuntungan pribadi atau kelompoknya. Dalam hukum acara, “substansi” tanpa prosedur itu seperti surat penting tanpa tanda tangan: bagus dibaca, tak bisa dipakai.

Di tengah situasi seperti ini, wajar bila kecurigaan publik menguat. Kuasa hukum korban bahkan menyebut ada “aroma” peradilan yang direkayasa dan mengaku pernah mendengar adanya permintaan dana kepada keluarga korban agar memenangkan kasus praperadilan ini. Itu klaim serius—dan justru karena serius, ia tak boleh dibiarkan hidup menjadi gosip warung kopi. Komisi Yudisial dan Mabes Polri harus mengungkap ini. Farid Wajdi mengingatkan: kecurigaan berbeda dari bukti; jalur etik dan pengawasan kelembagaan adalah cara menguji dugaan semacam itu, apalagi ada rumor berkembang yang menunjukkan keterlibatan pihak tertentu mempengaruhi putusan.

Maka, ada dua pekerjaan rumah yang sama mendesaknya. Pertama, Polresta Deliserdang harus membongkar ulang cacat prosedur secara terbuka: kesalahan di mana, siapa bertanggung jawab, dan bagaimana perbaikan dilakukan—bukan hanya akan melakukan “pemberkasan ulang”. Kedua, pengawasan eksternal harus berjalan: Propam memeriksa kemungkinan penyimpangan oknum aparat penyidik; Komisi Yudisial menilai aspek etik peradilan bila ada laporan masyarakat dan indikasi yang relevan. Transparansi bukan cuma slogan, melainkan oksigen bagi keadilan.

Praperadilan boleh memenangkan Juwita dan Kevin. Tetapi jika negara kalah karena ceroboh—atau lebih buruk, karena sengaja dibuat ceroboh—maka yang sebenarnya dibebaskan bukan hanya tersangka pembunuhan berencana. Yang dibebaskan adalah sinyal bahwa nyawa bisa dipermainkan di antara berkas perkara, stempel, dan sidang singkat hakim tunggal. Konsekuensinya, ketika prosedur diperlakukan sebagai formalitas, formalitas itu akan membunuh kebenaran—pelan-pelan, tanpa darah, tetapi mematikan hanya karena demi uang “haram” yang telah lazim dianggap “halal” dalam penanganan perkara hukum di negeri para bedebah ini.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE