Bila warga yang mesti berkejaran dengan pengedar narkoba, itu berarti negara sudah terlalu lama terlambat di kampung sendiri.
Kantor Polsek Muara Batang Gadis (MBG) di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) ludes dibakar massa yang marah pada Sabtu (20/12), setelah seorang terduga pengedar narkoba—sebelumnya diamankan warga Desa Singkuang—diduga dilepaskan oleh pihak kepolisian (versi polisi melarikan diri).
Api yang menjilat atap Mapolsek Muara Batang Gadis bukan hanya kobaran amarah. Ia adalah simbol yang lebih telanjang: ketika kepercayaan publik hangus, yang tersisa tinggal rangka—bangunan bisa dibangun lagi, tapi legitimasi tak semudah itu ditambal. Di Singkuang, warga—bahkan disebut emak-emak—menangkap seorang pria yang diduga pengedar narkoba. Ini detail yang seharusnya membuat aparat menunduk, bukan defensif. Sebab, bila warga yang mesti berkejaran dengan pengedar, itu berarti negara sudah terlalu lama terlambat di kampung sendiri.
Kemarahan itu meledak karena satu dugaan yang paling mematikan dalam urusan penegakan hukum: terduga pelaku dilepas. Warga tidak sedang meminta mukjizat. Mereka hanya mengharapkan prosedur berjalan: diperiksa, ditahan bila cukup bukti, diproses hingga pengadilan—atau, jika memang harus dilepaskan, publik diberi penjelasan yang masuk akal, terbuka, dan bisa diuji. Dalam perkara narkoba—yang merusak generasi muda dan memelihara ekonomi gelap—keputusan “melepas” tanpa penjelasan bukan cuma perkara kelalaian komunikasi. Ia mengundang kesimpulan paling buruk: ada yang dibeli, ada yang dilindungi, atau ada yang sengaja dibiarkan.
Pada titik inilah negara sering keliru membaca situasi. Polisi kerap menanggapi kemarahan publik dengan imbauan normatif: “jangan main hakim sendiri.” Kalimat itu benar, tapi tidak cukup. Ia seperti menegur orang yang nyaris tenggelam dengan ceramah tentang teknik berenang. Warga Muara Batang Gadis, dari narasi yang muncul, justru sudah berusaha tidak menjadi hakim: mereka menyerahkan terduga ke Polsek. Yang kemudian membuat mereka meledak adalah kesan bahwa negara—melalui aparatnya—mengkhianati iktikad itu.
Kita harus tegas: pembakaran kantor polisi, perusakan kendaraan dinas, pemblokiran jalan—semua itu tindakan yang melanggar hukum dan membahayakan keselamatan. Namun ketegasan juga wajib berlaku pada sumber bara. Karena bila akar masalah dibiarkan—dugaan pelepasan, ketidaktransparanan, dan pembiaran peredaran narkoba—maka yang sedang dipelihara adalah siklus paling berbahaya: warga putus asa, aparat kehilangan wibawa, lalu kekerasan menjadi bahasa alternatif.
Yang dibutuhkan sekarang bukan sekadar “pendalaman” yang berakhir menjadi berita singkat di akhir pekan. Kapolres dan jajaran harus memilih jalan yang jarang ditempuh tapi paling menyembuhkan: keterbukaan yang bisa diverifikasi. Pertama, jelaskan status terduga pengedar narkoba itu: apakah benar dilepas, atas dasar apa, siapa yang memutuskan, dan apa langkah lanjutan. Kedua, buka mekanisme pengawasan internal secara nyata—bukan sekadar janji—karena dugaan pelepasan selalu beririsan dengan dugaan penyalahgunaan kewenangan. Ketiga, lindungi warga dan saksi yang menyerahkan terduga pelaku, agar keberanian sipil tidak dibayar dengan intimidasi.
Bila memang ada kekeliruan atau pelanggaran, sanksi harus terlihat dan terang benderang, tidak disamarkan. Publik tidak butuh drama, tapi butuh kepastian bahwa polisi bekerja untuk hukum, bukan untuk “orang”. Sebaliknya, bila tuduhan warga tidak akurat, polisi pun wajib membuktikannya dengan data, bukan dengan wibawa, apalagi arogansi. Di era ketika kecurigaan menyebar lebih cepat daripada laporan resmi, diam terlalu lama adalah bensin penyulut emosi warga.
Muara Batang Gadis mengirim pesan dari pinggir republik: narkoba bukan hanya soal barang haram, melainkan soal retaknya kontrak sosial. Ketika warga yang menangkap, lalu aparat yang dituduh melepas, negara sedang mempermalukan dirinya sendiri. Dan bila negara terus meminta rakyat percaya tanpa mau menunjukkan alasan untuk dipercaya, jangan kaget bila yang terbakar berikutnya bukan hanya sebuah polsek—melainkan rasa hormat pada hukum itu sendiri. Ini memalukan, sekaligus menakutkan!











