Nama Topan begitu penting di “kalender kerja” Gubernur Bobby. Publik tak bakal melupakan keduanya dari ingatan sejarah korupsi Sumatera Utara.
SELAMAT TINGGAL 2025. Di Sumatera Utara, tahun itu seyogianya jadi halaman baru: gubernur baru, janji baru, dan harapan lama yang diperbarui—bahwa birokrasi berhenti menjadi pasar gelap proyek. Tapi lembar pertama justru dibuka oleh aib paling memalukan bagi kekuasaan: operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bobby Nasution dilantik sebagai Gubernur Sumatera Utara pada 20 Februari 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto. Belum genap setengah tahun, KPK menggelar OTT pada 26 Juni 2025: dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di lingkungan Dinas PUPR Provinsi Sumut dan Satker Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I Sumut. Dua hari berselang, KPK menetapkan lima tersangka.
Angkanya bukan recehan. Total nilai enam proyek yang disorot sekitar Rp231,8 miliar—dua klaster perkara, dua pintu masuk, satu aroma yang sama: proyek jalan sebagai ladang “komitmen”. Di antara lima tersangka itu ada Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting.
Nama Topan penting bukan semata karena jabatan. Ia menegaskan penyakit birokrasi: kedekatan dan kuasa sering melaju lebih cepat dari prosedur. Dalam konstruksi perkara, KPK mengurai dugaan “meeting of mind” sejak awal—dari “off road” peninjauan lokasi hingga pengaturan pengadaan, termasuk e-katalog yang mestinya etalase transparansi, bukan lorong transaksi. KPK juga menduga Topan tak bekerja sendiri, ada “perintah” dan jejaring lebih luas. Namun mendekati akhir, sikap KPK “loyo”, seolah takut memanggil Bobby, atasan langsung Topan.
Di titik inilah wajah kelam 2025 tampak telanjang: korupsi tidak selalu lahir dari rapat gelap berasap. Ia bisa tumbuh dari rutinitas—dari proyek jalan yang dibungkus bahasa pembangunan, tapi di belakangnya ada tarif tak tertulis, persentase yang dianggap wajar, dan jaringan yang merasa aman karena berada di orbit kekuasaan. Korupsi bekerja seperti kebiasaan: ia tidak perlu berisik, cukup dibiarkan.
Masalahnya, Topan bukan figur yang jatuh dari langit ketika Bobby menjadi gubernur. Saat Bobby masih Wali Kota Medan, Topan menjabat Kepala Dinas SDABMBK—dinas yang bersentuhan langsung dengan proyek-proyek fisik. Dalam perkara proyek lampu jalan yang populer disebut “lampu pocong”, Inspektorat menyatakan proyek itu “total loss”, dan Bobby menuntut kontraktor mengembalikan sekitar Rp21 miliar yang sudah dibayarkan.
Kala itu publik sempat melihat wali kota yang “menggigit” kontraktor: teguran, tuntutan pengembalian, narasi ketegasan. Namun pengalaman mengajarkan: kegagalan proyek jarang cuma soal estetika. Ia soal tata kelola—perencanaan, pengawasan, pengendalian mutu—dan siapa memegang kunci sejak awal: dari rancangan, penentuan pemenang, hingga pembagian paket. Ketika pejabat yang dulu di simpang proyek Pemko Medan terseret OTT proyek jalan provinsi, wajar publik bertanya: ia hanya oknum, atau perpanjangan tangan gubernur?
KPK sempat memberi sinyal akan memanggil siapa pun, termasuk Gubernur Bobby Nasution, bila relevan. Namun, seiring waktu KPK gentar. Padahal Ketua Majelis Hakim Tipikor PN Medan, Khamozaro Waruwu, meminta jaksa menghadirkan Bobby untuk bersaksi. Alasannya, Bobby berkali-kali menggeser pos APBD Sumut demi proyek jalan yang berkelindan dengan OTT Topan.
Di penghujung tahun 2025, cerita lain muncul dan semakin menambah panas: Dewan Pengawas KPK memeriksa pihak-pihak internal—deputi, penyidik, hingga jaksa—untuk mendalami dugaan “keengganan” memanggil Bobby dalam konteks perkara korupsi Topan.
Ini alarm nyaring bagi Bobby: jarak antara pejabat puncak dan korupsi di bawahnya terlalu sering diperlakukan seperti pagar suci. Padahal, di republik sehat, pagar itu akuntabilitas—bukan kekebalan, apalagi arogansi karena status menantu bekas presiden. Negara tak boleh mewariskan kebiasaan busuk: bawahan ditangkap, atasan melenggang—bahkan terkesan meremehkan APH. Seolah korupsi Topan Cs turun dari langit tanpa singgah di ruang kebijakan gubernur.
Harapan 2026 sederhana: hentikan politik “orang kepercayaan” sebagai jalan tol proyek. Jika Bobby ingin menutup 2025 dengan pesan baru, biarkan pemeriksaan berjalan tanpa drama, kosongkan ruang intervensi, dan buka data proyek seterang lampu stadion—daftar paket, perubahan kontrak, subkontrak, hingga progres fisik yang bisa diaudit publik. Paling penting, pangkas tawar-menawar fee sejak meja perencanaan, tempat benih “komitmen” ditanam sebelum pemenang dipilih. Agar Sumut tak mengulang siklus buruk.
Sebab yang paling mematikan dari korupsi bukan semata jumlah uangnya, melainkan normalisasinya. Ketika “jatah” dianggap lumrah, maka OTT tinggal menunggu giliran berikut—seperti kalender yang hanya mengganti angka, kebiasaan tetap sama.
Sumut kekurangan keberanian memutus jalan pintas: jalur cepat kerabat, jalur cepat relasi, jalur cepat “titipan”, dan jalur cepat komisi. Jika 2026 dibiarkan menjadi perpanjangan 2025, Sumut bukan sedang membangun jalan—melainkan mengaspal rute menuju siklus kembar: proyek, setoran, OTT. Dan pada akhirnya, nama Topan dan Gubernur Bobby tetap terpaku dalam sejarah “berdarah” korupsi Sumatera Utara.











