Scroll Untuk Membaca

Editorial

Sumut Dan “Impotensi” Manajemen Fiskal

Sumut Dan “Impotensi” Manajemen Fiskal
Kecil Besar
14px

Sumatera Utara sedang mempraktikkan seni baru dalam manajemen fiskal: seni menidurkan uang rakyat sambil tersenyum di depan kamera. Di bawah duet “darah muda” — Gubernur Bobby Nasution dan Ketua DPRD Sumut Erni Ariyanti Sitorus yang juga masih berumur segar—roda keuangan daerah tampak lebih sering berputar di ruang konferensi pers ketimbang di lapangan pembangunan.

Inilah konsekuensi politik karbitan: semangat menggantikan pengalaman, dan retorika menenggelamkan kinerja.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Ketika Bank Indonesia mengungkap dana Rp3,1 triliun milik Pemprov Sumut mengendap di bank, publik tentu terperangah. Tapi alih-alih menjawab dengan data konkret dan langkah perbaikan, pemerintah daerah justru sibuk menyalakan mesin damage control: “Hanya Rp990 miliar, kok!” seolah angka satu triliun bisa disimpan di saku sebelah tanpa terasa.

Lucunya, klarifikasi itu tak menenangkan. Ia justru menegaskan bahwa Pemprovsu lebih cekatan meredam kegaduhan ketimbang memperbaiki akar persoalan. Seperti pemain bola yang sibuk membantah di depan wartawan alih-alih memperbaiki akurasi tendangan di lapangan.

Di balik jargon “Sumut Berkah”, uang rakyat justru bermukim nyaman di rekening Bank Sumut—menganggur, menjadi angka dingin di layar komputer, bukan menjadi jalan, irigasi, atau layanan publik. Saldo Rp1 triliun menjelang akhir tahun bukan hanya statistik; itu simbol stagnasi. Uang yang seharusnya bekerja untuk rakyat malah jadi tabungan pejabat.

Sementara rakyat menunggu sekolah direnovasi dan pasar diperbaiki, Pemprov justru sibuk menambah penyertaan modal ke bank daerah yang sudah sehat-sehat saja. Bank Sumut bahkan diberi tambahan “vitamin” Rp50 miliar dari APBD 2025: bentuk kasih sayang fiskal yang berlebihan, atau mungkin strategi politik “tersembunyi”.

Pengamat anggaran Elfenda Ananda sudah mengingatkan: masalahnya bukan di mana dana disimpan, tapi mengapa uang itu tak segera bekerja untuk rakyat. Sayangnya, pemerintah daerah lebih sibuk menepis tudingan ketimbang berintrospeksi. Publik tidak ingin tahu uangnya parkir di mana, publik hanya ingin tahu kapan uang itu kembali ke jalan dalam bentuk pembangunan. Tapi jawaban yang datang justru seperti teatrikal: penuh angka, minim makna.

Dana publik kini seperti benda sakral—disembunyikan di balik jargon teknokratis dan klarifikasi panjang. Padahal yang ditunggu rakyat hanya satu: hasil kerja dua pemimpin “belia” itu.

Fenomena dana mengendap Rp234 triliun di seluruh Indonesia memang bukan hanya soal Sumut, tapi provinsi ini menonjol karena dua hal: inflasi tertinggi dan belanja publik yang jalan di tempat. Kombinasi sempurna untuk disebut “impotensi fiskal”—punya uang tapi tak bisa menggerakkannya. Konsekuensi dari pemimpin yang minim bekal dan pengalaman.

Ironisnya, kondisi ini terjadi di bawah kepemimpinan yang katanya “berani, cepat, dan enerjik.” Rupanya energi itu habis untuk klarifikasi di “media bapak” dan unggahan buzzer di media sosial. Bagi mereka, performa publikasi tampak lebih penting daripada performansi anggaran.

Kita tentu berharap pemerintah daerah belajar dari kritik, bukan menganggapnya serangan politik. Tapi setiap kali publik menggugat transparansi, jawabannya selalu “klarifikasi angka.” Mereka lupa, rakyat tidak hidup dari angka, melainkan dari hasil nyata. Jalan berlubang tak bisa ditambal dengan press release. Sekolah rusak tak bisa diperbaiki dengan unggahan Instagram, TikTok, atau “X”.

Reformasi fiskal bukan perkara jargon belaka. Ia butuh keberanian memangkas birokrasi dan memastikan uang publik benar-benar bekerja untuk publik. Gubernur muda yang gemar meneriakkan “darah muda” mestinya tahu: darah muda bukan alasan untuk sembrono, melainkan semangat untuk berinovasi.

Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Uang rakyat mengendap, pembangunan lesu, inflasi menggila, sementara yang aktif hanya mikrofon dan media briefing.

Kalau fiskal daerah ini seorang manusia, ia mungkin sudah didiagnosis: disfungsi eksekusi kronis. Dan jika Sumatera Utara terus dibiarkan dalam pola ini, yang akan mengalir deras hanya dua hal: konferensi pers dan pembenaran.

Sementara uang publik, seperti biasa, tetap tidur nyenyak di bank— ditemani mimpi para pejabat muda yang sibuk berbicara tentang masa depan, tapi tak pernah mengelolanya dengan benar.

Inilah wajah fiskal Sumatera Utara hari ini: muda dalam usia, tua dalam kelambanan, dan lumpuh dalam kinerja. Provinsi yang katanya penuh energi, tapi rupanya hanya penuh klarifikasi dan “impotensi”.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE