Topan adalah puzzle yang potongan utamanya belum “dipasang”.
Di negeri yang jalan-jalannya berlubang seperti integritas sebagian pejabatnya, sebuah kegelisahan diunggah di ruang publik: Mengapa begitu lama KPK menempuh jalan menuju Gubernur? Kegelisahan intelektual yang mewakili nurani publik itu datang dari Hardi Mulyono, akademisi dan politisi senior—kini tengah menyoroti kinerja lembaga yang tidak superbody lagi itu.
Kepada waspada.id, Senin 14 Juli 2025, Hardi menilai kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting, bukan hanya soal korupsi berjuta-juta. Ia adalah puzzle yang potongan utamanya belum dipasang—karena nama besar yang diduga kuat terkait adalah Bobby Nasution, Gubernur Sumut sekaligus menantu mantan Presiden Joko Widodo. Publik tahu bahwa Topan bukan hanya pejabat teknis, melainkan figur yang “diangkat dari mana, oleh siapa, dan jadi apa” seperti disampaikan secara telanjang oleh Hardi.
KPK memang sudah tidak setaring dulu. Di era lama, penyidik komisi antirasuah menjadikan setiap OTT sebagai pintu masuk membongkar akar kejahatan terstruktur. Sekarang, nuansa ‘sungkan’ kerap tercium, apalagi jika kasus menyentuh lingkaran kekuasaan. Ketua KPK Setyo Budiyanto seolah memilih berlama-lama di ruang tunggu moralitas, menunda panggilan terhadap Bobby meski sang gubernur sudah menyatakan kesediaannya diperiksa kapan saja. Tapi, publik bukan penonton yang bisa dilupakan hanya dengan pernyataan santun. Mereka ingin aksi.
Dalam pusaran ini, suara Hardi Mulyono dari Universitas Muslim Nusantara ini menjadi cemeti: kepercayaan rakyat itu fragile—sekali rusak, bisa hilang bertahun-tahun lamanya. Maka, menjadi penting untuk bertanya: apakah KPK kini bekerja untuk keadilan, atau untuk menjaga perasaan “Bapak”?
Kecurigaan ini makin menggunung di tengah transisi kepemimpinan nasional dari Jokowi ke Prabowo. Sebab Prabowo, dalam setiap orasinya, menjadikan perang melawan korupsi sebagai mantra perubahan. Maka, OTT di Sumut bisa menjadi ujian pertama: apakah KPK yang dibentuk di era Jokowi berani menelusuri alur uang hingga ke pejabat teratas daerah, atau justru cuma omon-omon belaka?
Dan inilah bagian yang tidak boleh kita abaikan: bila jalur hukum dibiarkan tersumbat oleh kepentingan dan rasa ewuh pakewuh, jangan salahkan rakyat jika suatu hari mereka lebih percaya pada jalanan berlubang ketimbang janji-janji pemimpin. Karena di republik ini, kadang kebenaran justru ditemukan di aspal yang rusak dan terbelah, di bawah baliho parodi SUMUT, Semua Urusan Mesti Uang Tunai—bukan di gedung-gedung megah yang katanya tempat keadilan berpijak.