Tindakan mengancam, merampas dan menghapus video hasil kerja jurnalis adalah obstruksi kebebasan pers dan kejahatan pidana.
Ada yang lebih cepat dari peluru di Lanud Aceh Besar: jari yang menekan tombol delete. Dalam sekejap, gambar hilang, memori lenyap, dan kerja jurnalistik dipaksa tunduk pada logika paling purba—logika kekuasaan militer. Bukan lewat pengadilan, bukan lewat klarifikasi, melainkan lewat penghapusan paksa. Sederhana, efisien, dan—tentu saja—keliru besar.
Kamis pagi, 11 Desember 2025, jurnalis Kompas TV Aceh Davi Abdullah meliput di Lanud Sultan Iskandar Muda (SIM), Aceh Besar, dan merekam kedatangan sejumlah warga Malaysia di tengah situasi pascabencana—sebagian beratribut menyerupai bendera Malaysia. Saat ia mendekat untuk memperjelas gambar, beberapa anggota TNI dan seorang yang mengaku intelijen menghampiri hingga situasi memanas. Menurut Davi, di rombongan itu ada tiga staf khusus Gubernur Aceh yang menjelaskan para WNA tersebut hendak membantu korban banjir di Aceh Tamiang.
Namun Aster Kasdam IM, Kolonel Inf Fransisco, memerintahkan rombongan itu meninggalkan lokasi. Davi merekam momen tersebut, dan sejak itu kameranya dianggap ancaman. Seorang anggota TNI AU meminta rekaman dihapus. Davi menolak, menjelaskan bahwa itu bagian dari tugas jurnalistik. Ia dihardik, dipotret, ditekan. Fransisco kemudian datang bersama beberapa tentara, mengancam akan “memecahkan” ponsel Davi, merampasnya, dan memerintahkan provos menghapus dua file rekaman berdurasi empat menit. “Lanud SIM wilayah kekuasaan saya. Kalau tak terima, jangan datang ke sini,” kata Fransisco, seperti ditirukan Davi.
Ketua Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Aceh, Rino Abonita, mengecam tindakan itu sebagai bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan obstruksi kebebasan pers. Landasan hukumnya tegas: Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. UU Pers No. 40/1999 Pasal 4 ayat (2) melarang penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. Pasal 18 ayat (1) bahkan mengancam dua tahun penjara atau denda Rp500 juta bagi siapa pun yang menghalangi kerja jurnalistik.
Namun, seperti biasa, TNI punya versi sendiri. Fransisco membantah ada kekerasan. Ia menyebut tindakan aparat hanya penegakan aturan demi keamanan kawasan militer, karena peliputan dilakukan tanpa izin di area sensitif dan melibatkan warga asing. Argumen yang terdengar kuno—keamanan dulu, prosedur kemudian, demokrasi belakangan.
Masalahnya, negara hukum tidak pernah mengajarkan penghapusan sebagai metode penegakan aturan. Apalagi yang dihapus adalah kerja jurnalistik, profesi yang secara hukum diberi mandat mengawasi negara. Dalam hukum pers, tak ada pasal “hapus”. Yang ada hanyalah hak jawab dan mekanisme Dewan Pers. Tombol delete bukan prosedur resmi, melainkan refleks kekuasaan yang alergi terhadap sorotan kamera.
Keamanan militer adalah hal sah. Tapi dalih keamanan menjadi rapuh ketika digunakan untuk membungkam. Menjaga objek vital bukan berarti bebas menekan siapa pun yang memegang kamera. Jika ada pelanggaran, negara punya prosedur: tegur, koordinasikan, atau tempuh jalur hukum—bukan rampas alat kerja dan hapus bukti liputan.
Ironisnya, Davi bukan merekam rahasia pertahanan negara, melainkan peristiwa sosial: orang asing masuk ruang yang beririsan dengan kepentingan sipil di tengah bencana. Di situlah hak publik berdiri—warga berhak tahu siapa datang, lewat jalur apa, dan untuk apa. Penghapusan rekaman justru memelihara kecurigaan: negara yang percaya diri tak alergi kamera; yang panik biasanya mereka yang hendak menyembunyikan sesuatu—oknum tentara bermasalah.
Hubungan sipil–militer kita rupanya masih terperangkap dalam trauma masa lalu: pendekatan komando di ruang publik. Kamera dianggap senjata, jurnalis dilihat sebagai pengganggu, kritik disalahartikan sebagai pembangkangan. Padahal, dalam demokrasi, pers adalah mitra yang “cerewet”, bukan musuh negara. Ia mengganggu agar kekuasaan terkontrol—tak nyaman berlama-lama di singgasananya.
Lebih ironis lagi, tindakan represif seperti ini selalu dibungkus dalih “demi keamanan”. Padahal keamanan sejati tumbuh dari transparansi dan akuntabilitas. Menghapus kamera sama saja menghapus kepercayaan publik yang telah menggaji tentara dengan uang pajaknya. Konsekuensinya hanya menyisakan cerita sepihak—dan negara tidak pernah diuntungkan oleh cerita sepihak.
Kasus ini bukan insiden biasa. Ini peringatan keras bahwa undang-undang bisa dikalahkan kebiasaan, dan kebiasaan bisa lebih berbahaya dari peluru. Jika dibiarkan, tombol delete akan menjadi pasal baru yang tak pernah disahkan DPR, tapi efektif menaklukkan kebenaran di lapangan.
Sudah waktunya aparat negara—tentara, polisi, atau siapapun—belajar membedakan antara menjaga keamanan dan menekan kebebasan publik untuk mendapatkan informasi. Kamera jurnalis bukan senjata, melainkan cermin perilaku wajah Anda, para aparat. Memecahkan cermin tak menghapus wajah yang ingin Anda tutupi—terutama wajah bengis serdadu yang alergi sorotan kamera di Lanud SIM, Aceh Besar, Kamis pagi itu!











