Scroll Untuk Membaca

Editorial

Terjajah Pajak Mahal

Terjajah Pajak Mahal
Kecil Besar
14px

Soal fiskal, Thailand memilih berlari memakai sepatu ringan. Malaysia, sepatu diskon. Kita? Sepatu bot, lengkap beban di pergelangan.

Kisahnya bermula dari ruang rapat yang dingin. Seorang pejabat otomotif Indonesia ditanya oleh kolega luar negeri: “Pajak kamu paling tinggi di dunia.” Ia membuka berkas, menghitung, lalu diam. Tidak ada bantahan. Di meja itu, Indonesia terlihat seperti murid rajin yang kebagian tugas paling berat—dan tetap disuruh berdiri di sudut kelas.

Mari turun dari metafora ke angka. Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, mengakui pajak tahunan mobil di sini bisa lima sampai tiga puluh kali lipat lebih mahal ketimbang di Thailand dan Malaysia. Ia memberi contoh yang membumi: Avanza buatan lokal, pajak tahunannya bisa mendekati Rp5 juta. Di negeri tetangga yang justru mengimpor dari kita, tak sampai Rp1 juta; di Thailand, sekitar Rp150 ribu. Rasanya seperti membeli buku tulis, tapi membayar seperti encyklopedia lengkap.

Kenapa bisa begitu? Karena kita rajin memungut di setiap tikungan. Ada PPnBM untuk mobil (kini berbasis emisi), ada PPN, ada juga pajak daerah—BBNKB saat pertama kali balik nama dan PKB tiap tahun. Surat-surat lengkap, pungutan pun lengkap. Dalam praktiknya, porsi pajak bisa merangkak hingga nyaris separuh harga mobil, kecuali untuk kendaraan listrik yang menikmati keringanan.

Bandingkan dengan Thailand. Negeri Gajah Putih mempertahankan PPN di 7%, diperpanjang hingga setidaknya 30 September 2025. Mereka punya pajak tahunan berbasis kapasitas mesin dan usia kendaraan, dengan nominal yang—bagi kantong kelas menengah Indonesia—terasa seperti biaya parkir bulanan. Tak ada BBNKB yang menggigit di depan. Itulah kenapa “harga jalan” mobil di sana sering terasa lebih masuk akal.

Malaysia serupa: pajak tahunan (road tax) dihitung dari kapasitas mesin. Untuk sedan 1.5L seperti Vios/City, tarifnya sekitar RM90 setahun—sekitar tiga ratus ribu rupiah. Harga secangkir kopi artisanal setiap bulan. Bandingkan dengan sejumlah kota di Indonesia yang mematok jutaan rupiah per tahun untuk model ekonomi. Kita mendengar desahan dompet dari jauh.

Di Jakarta, aturannya terang. BBNKB penyerahan pertama 12,5%. Setelahnya, balik nama kendaraan bekas dibebaskan. PKB progresif mulai 2% untuk kepemilikan pertama, naik bertahap untuk kendaraan berikutnya. Bahasa kebijakannya manis: penyelarasan dan penyederhanaan. Tapi bagi pembeli pertama, angka 12,5% tetap angka 12,5%—batu pertama yang memberati harga.

Lalu PPN. Sejak 1 Januari 2025, pemerintah mengerek tarif menjadi 12%—namun memilih pendekatan “selektif” untuk barang mewah agar daya beli tak remuk. Mobil, jelas masuk radar barang mewah. Otoritas pajak juga menyebut basis pengenaan disesuaikan sehingga beban efektif pada banyak transaksi tetap terasa mirip sebelumnya. Rumit? Memang. Tapi rumit tak selalu berarti ringan.

Akademisi pun mengangguk lesu. Peneliti LPEM FEB UI, Riyanto, menyebut kira-kira 40% harga on the road mobil di Indonesia adalah instrumen pajak. Di Thailand? Sekitar 32%. Delapan poin persentase terlihat kecil di kertas, tapi di showroom, itulah jurang antara “bisa ambil kredit” dan “mending nunggu tahun depan.”

Apakah semua ini dosa asli? Tidak seluruhnya. Negara butuh penerimaan, jalan butuh aspal, udara butuh mobil lebih bersih. Tapi bila targetnya industri kuat, pasar luas, dan ekspor gagah, beban di muka—BBNKB tinggi plus PPN barang mewah—seakan mengikat kaki pelari sebelum lomba dimulai. Thailand memilih berlari dengan sepatu ringan. Malaysia, sepatu diskon. Kita? Sepatu bot, lengkap dengan beban di pergelangan.

Solusinya bukan abolisi serampangan. Mulailah dari yang paling menghambat daya saing: pangkas beban di depan, sederhanakan pajak tahunan, dan pastikan insentif emisi benar-benar menurunkan harga bersih untuk model irit dan bersih. Sisanya, biarkan industri dan konsumen bernapas. Sebab pasar bukan hanya grafik; ia juga psikologi. Kalau tiap brosur mobil terasa seperti lembar tagihan, jangan kaget bila showroom makin sepi dan pabrik menurunkan ritme. Kita tidak perlu dijajah siapa-siapa. Cukup berhenti menaklukkan diri sendiri dengan pajak yang terlalu mahal: terjajah kanan kiri—endingnya tetap dikorupsi!

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE