Penegakan hukum kita sering kehilangan daya saat menembus dinding tebal kekuasaan yang melindungi aktor-aktor besar.
Di ruang sidang Pengadilan Negeri Medan, Senin 2 Juni 2025, palu keadilan kembali diketok untuk menjatuhkan hukuman paling final yang dimiliki negara: eksekusi mati. Dua pria bernama Jasri dan Heri Chandra, keduanya kurir sabu, diputus bersalah karena membawa 20 kilogram narkotika dari Riau ke Sumatera Utara.
Vonis ini menyita perhatian. Bukan karena bobot kejahatan mereka, melainkan karena absurditas lanskap keadilan kita: yang membawa sabu dihukum mati, sementara yang menyuruh tetap menghilang.
Sosok yang disebut sebagai dalang di balik kasus ini, Wak Alang, telah lama menjadi buron. Ia absen dari seluruh proses pertanggungjawaban hukum. Wak Alang tidak pernah ditangkap, apalagi hadir di ruang sidang. Dan bahkan sosoknya seperti hantu; tidak pernah tampil di ruang publik. Tapi hebatnya, dua kurir yang menjalankan perintah Wak Alang harus menghadapi takdir ekstrem dari sistem peradilan kita: vonis mati!
Masyarakat awam tentu menganggap vonis ini sebagai bentuk ketegasan. Negara hadir. Negara tak kompromi pada narkoba. Namun jika kita berhenti sejenak dan menelusuri konteks lebih dalam, terlihat sebuah pola yang mengusik nurani: penegakan hukum kita tampaknya memiliki presisi tajam terhadap para pelaku kelas bawah, namun kehilangan daya saat menembus dinding tebal kekuasaan yang melindungi aktor-aktor besar.
Kasus Jasri dan Heri bukan satu-satunya. Ada perkara narkoba lain yang bahkan melibatkan barang bukti lebih besar—32 kg, 50 kg, 75 kg sabu—namun para terdakwanya “hanya” dijatuhi pidana seumur hidup atau 20 tahun penjara. Artinya, bukan berat barang bukti yang menjadi variabel utama dalam vonis mati, melainkan konteks politis dan sosial si pelaku.
Dalam ilmu hukum pidana, prinsip individualisasi pidana sangat penting. Setiap hukuman harus mempertimbangkan peran, motif, latar belakang, hingga kemungkinan rehabilitasi si pelaku. Namun dalam praktiknya, seringkali sistem lebih memilih simplifikasi: kurir bersalah = hukuman maksimal. Padahal, para kurir pada dasarnya adalah perpanjangan tangan jaringan yang lebih besar, lebih terancang, dan sering kali terhubung dengan kekuatan ekonomi maupun aparat.
Lalu apa makna keadilan jika yang dihukum adalah mereka yang paling mudah ditangkap, paling miskin akses hukum, dan paling jauh dari jaringan kekuasaan?
Kita ingat Freddy Budiman—bandar sabu yang akhirnya dieksekusi mati pada 2016. Sebelum kematiannya, ia sempat mengungkap dalam testimoni bahwa ia menyuap sejumlah oknum aparat demi kelancaran bisnisnya. Tapi pengakuan itu tidak pernah benar-benar diusut tuntas. Negara memilih mengeksekusi Freddy tanpa membersihkan sistem yang menyokong eksistensinya. Maka, keadilan pun tinggal slogan.
Kita tidak sedang mengadvokasi kebebasan bagi pelaku kejahatan narkotika. Tapi keadilan bukan hanya tentang menjatuhkan vonis. Ia soal bagaimana sistem mampu menyentuh seluruh lapisan jaringan kejahatan, bukan cuma eksekusi kosmetik di level bawah.
Jika keadilan hanya berlaku tegas kepada kurir, namun tumpul terhadap pengendali utama yang justru menghancurkan generasi secara terencana, maka yang sedang berlangsung bukan penegakan hukum, melainkan pengorbanan figuratif.
Sebagai bangsa yang menjunjung konstitusi dan asas due process of law, kita patut bertanya: apakah eksekusi mati terhadap dua kurir ini benar-benar bentuk penegakan hukum? Ataukah ini justru bentuk pelarian dari kegagalan kita mengejar Wak Alang—dan para Wak Alang lainnya!