OTT Topan bukan dadakan. Ini teater yang dipentaskan setelah semua naskah dibaca dan direkam.
Di republik yang anggarannya mengalir seperti sungai tanpa hulu, tumpukan angka uang kembali membetot perhatian publik: Rp8 miliar. Nilainya mungkin tak begitu fantastis, hanya seperempat dari proyek jalan Rp231,8 miliar di Sumatera Utara. Tapi yang bikin rakyat mengerutkan alis bukan soal besarannya, melainkan narasi klasik yang kembali diputar: “Saya tidak tahu apa-apa.”
Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution berkukuh tidak mengetahui Kepala Dinas PUPR-nya, Topan Ginting, menerima bagian delapan miliar dari pemenangan tender. Padahal, seperti diingatkan Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang Yenti Garnasih, sulit mempercayai seorang kepala daerah “buta” terhadap arus dana yang menjadi tanggung jawabnya.
“Mustahil kepala daerah tidak tahu ke mana anggaran itu mengalir,” kata Yenti dalam dialog Sapa Indonesia Pagi, 2 Juli 2025. Di banyak daerah, PUPR bukan melulu tentang dinas teknis. Ia adalah jantung kekuasaan fiscal daerah. Proyeknya besar, ruang gelapnya luas, dan kedekatan antara kepala daerah dengan pucuk pimpinan dinasnya bukan rahasia, melainkan tradisi.
Yang menarik, Topan Ginting bukan nama yang asing di lingkaran kekuasaan Sumut. Ia dikenal dekat dengan Bobby, bahkan disebut sebagai “orangnya.” Maka ketika KPK menangkap Topan dalam OTT, publik bertanya-tanya: jika “orang dekat” bisa menerima Rp8 miliar tanpa sepengetahuan atasan, apakah atasan itu terlalu polos untuk dunia birokrasi, atau terlalu lihai untuk tersentuh?
Yenti pun menyebut istilah yang jarang disebut langsung di media arus utama: nepotisme. Sebuah nasab persekongkolan yang tak selalu sedarah, tapi saling menguntungkan. Dalam bahasa Yenti, nepotisme itu “tidak harus anak atau saudara, tapi orang yang dibawa.” Dalam bahasa politik Indonesia gen-nya itu bisa tim sukses, kawan lama, atau sekadar loyalis yang tahu cara mengunci mulut dan membuka pintu proyek.
Dan kita tahu, di balik OTT, selalu ada penyadapan. Ini bukan penangkapan mendadak. Ini teater yang dipentaskan setelah semua naskah dibaca. Maka ketika KPK hanya menangkap Topan dan beberapa figuran lain, sementara sutradaranya lolos dari panggung, publik berhak curiga. Yenti menyindir, “Itu sudah kelihatan sebenarnya.”
Kasus ini bukan hanya bicara proyek jalan. Ia cermin jalan politik Indonesia hari ini—berliku, penuh lubang, tapi selalu “diaspal” dengan retorika. Bobby bilang siap diperiksa. Tapi “siap” adalah kata paling murah dalam kamus politik. Yang mahal adalah transparansi. Dan yang langka adalah tanggung jawab.
Jika delapan miliar bisa lenyap dari pengawasan gubernur, maka yang benar-benar hilang bukan hanya uang rakyat. Yang lebih mengkhawatirkan: hilangnya rasa malu di tengah kuasa, dan hilangnya kepercayaan publik terhadap mereka yang katanya “pemimpin masa depan”.
Karena di negeri ini, yang paling sering dicuci bukan hanya uang hasil kejahatan—tapi juga tangan. Apakah Gubernur Bobby sedang mencuci keduanya di “wastafel” politik? “Itu sudah kelihatan sebenarnya,” sindir Yenti, sekali lagi.