JAKARTA (Waspada.id): Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan suku bunga acuan BI rate di level 4,75%, sebagai upaya tren pelonggaran kebijakan moneter akomodatif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengemukakan bahwa keputusan untuk mempertahankan suku bunga itu ditetapkan dengan memperhatikan sejumlah indikator perekonomian baik global maupun domestik, termasuk perkembangan kredit di sektor perbankan.
“Berdasarkan assessment tersebut, rapat dewan gubernur Bnak Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI rate 4,75%,” ujar Perry, Rabu (19/11/2025).
Sejalan dengan itu, bank sentral juga tetap mempertahankan suku bunga Deposit Facility sebesar basis poin (bps) ke level 3,75% dan suku bunga Lending Facility 5,5%.
Perry mengatakan keputusan suku bunga ini sejalan dengan perkiraan inflasi 2025 dan 2026 yang rendah, serta tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% dan upaya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah ketidakpastian global, serta memperkuat pertumbuhan ekonomi.
“Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi sejalan dengan rendahnya prakiraan inflasi dengan tetap mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah,” jelasnya.
Kredit Tumbuh Melambat
Sementara itu, pertumbuhan kredit pada Oktober 2025 sebesar 7,36% secara tahunan (year on year/YoY), dengan fasilitas yang belum ditarik atau undisbursed loan mencapai Rp2.450,7 triliun.
Dari sisi pertumbuhan kredit, hingga Oktober 2025 kredit tumbuh melambat dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 7,7% YoY. Karena itu penyaluran kredit perbankan masih perlu ditingkatkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
“Hal ini disebabkan permintaan kredit yang belum kuat, antara lain dipengaruhi oleh sikap pelaku usaha yang masih menahan ekspansi, istilahnya wait and see,” ungkap Perry.
Dia menyampaikan, dibandingkan dengan penurunan BI rate sebesar 125 basis poin, suku bunga deposito satu bulan hanya turun sebesar 56 basis poin dari 4,81% pada awal tahun 2025 menjadi 4,25% pada Oktober 2025.
Menurutnya, hal ini terutama dipengaruhi oleh pemberian special rate kepada deposan yang mencapai 27% dari total dana pihak ketiga perbankan.
Penurunan suku bunga kredit perbankan bahkan berjalan lebih lambat yaitu hanya sebesar 20 basis poin dari 9,20% pada awal tahun 2025 menjadi sebesar 9% pada Oktober 2025.
Perry juga menyebutkan bahwa fasilitas pinjaman yang belum ditarik atau undisbursed loan pada Oktober 2025 mencapai Rp2.450,7 triliun atau 22,97% dari platform kredit yang tersedia.
Dari sisi penawaran, kapasitas pembiayaan bank memadai, ditopang oleh rasio alat likuid terhadap dana biaya ketiga yang meningkat menjadi sebesar 29,47% dan DPK dana biaya ketiga yang tumbuh sebesar 11,48% pada Oktober 2025.
“Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit 2025 berada pada batas bawah kisaran 8-11% dan akan meningkat pada 2026,” pungkasnya.
Pembelian SBN
Bank Indonesia (BI) terus terlibat dalam pembiayaan anggaran pemerintah dengan melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN), yang hingga 18 November 2025 telah mencapai Rp289,91 triliun.
Mayoritas dilakukan dengan skema debt switching. Debt switching adalah mekanisme pembelian surat utang lama yang telah jatuh tempo dengan kompensasi surat utang baru dengan tenor yang jauh lebih lama.
Gubernur BI Perry Warjiyo memaparkan bahwa dari total Rp289,91 triliun itu, porsi terbesar berasal dari program debt switching pemerintah yang mencapai Rp212,6 triliun. Angka itu jauh melampaui porsi pembelian SBN di pasar sekunder.
“Bank Indonesia membeli SBN sebagai bentuk sinergi erat antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal,” kata Perry dalam konferensi pers pengumuman Rapat Dewan Gubernur November 2025 secara daring, Rabu (19/11/2025).
Lebih lanjut, dia menyatakan bahwa pembelian SBN di pasar sekunder tetap dilakukan secara hati-hati dan mengikuti kaidah kebijakan moneter.
Langkah tersebut, sambungnya, ditujukan untuk memastikan stabilitas perekonomian tetap terjaga dan kredibilitas moneter tetap kuat.
“Pembelian SBN di pasar sekunder dilakukan sesuai mekanisme pasar secara terukur, transparan, dan konsisten dengan program moneter,” tutur Perry. (Id88)












