JAKARTA (Waspada.id): PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan bergerak fluktuatif pada pekan ini seiring rilis data ekonomi domestik kunci, termasuk pertumbuhan ekonomi Kuartal III-2025, PMI Manufaktur, dan inflasi Oktober. IPOT merekomendasikan investor untuk fokus pada saham defensif dan emiten berkinerja solid.
“Meskipun pertemuan Presiden Xi Jinping dan Trump serta kebijakan The Fed yang menghentikan Quantitative Tightening menjadi sentimen positif, trader perlu waspada terhadap padatnya rilis data ekonomi domestik pekan ini. Money management dan risk management menjadi kunci utama,” tegas Equity Analyst IPOT, Imam Gunadi, Senin (3/11).
Sedangkan bagi investor yang notabene mempunyai time horizon yang panjang, musim rilis laporan keuangan menjadi waktu penting untuk mengevaluasi kinerja emitennya dan melihat apakah kinerja Q3 sesuai dengan target atau masih jauh dari target. Momen rilis laporan keuangan juga waktu bagi investor untuk kembali mencari emiten-emiten yang tumbuh atau turn around dari kinerja historisnya.
Fokus Pasar Pekan Ini
Imam memperkirakan fokus pasar pada pekan ini (3-7 November 2025) tertuju pada tiga rilis data ekonomi domestik yang cukup padat.
1. Pertumbuhan Ekonomi Q3-2025
Konsensus Bloomberg memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 4,8%, menandakan potensi perlambatan dibandingkan kuartal sebelumnya. Menteri Keuangan telah mengindikasikan bahwa kinerja ekonomi Q3 kemungkinan sedikit lebih rendah dibandingkan Q2-2025 seiring moderasi aktivitas domestik dan tekanan eksternal.
2. PMI Manufaktur
Indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) atau indeks kesehatan sektor manufaktur sebelumnya tercatat melambat dari 51,5 menjadi 50,4. Pelemahan ini ditengarai disebabkan kenaikan biaya produksi dan melemahnya permintaan ekspor.
3. Inflasi Oktober 2025
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data inflasi awal pekan ini. Konsensus memperkirakan inflasi tahunan akan melandai menjadi 2,59% (yoy) dari 2,65% (yoy) pada September, menandakan stabilitas harga yang relatif terjaga.
Sentimen Global Membaik Pasca Pertemuan Trump-Xi
Perhatian pasar global tersita oleh pertemuan Presiden Xi Jinping dan Donald Trump di Busan, Korea Selatan, pada 30 Oktober 2025 yang menghasilkan kesepakatan penting. Amerika Serikat sepakat menurunkan tarif impor produk China dari 57% menjadi 47%, sementara China berkomitmen membeli kembali 12 juta ton kedelai AS hingga Januari 2026.
Kesepakatan lain mencakup penundaan pembatasan ekspor rare earth oleh China selama satu tahun, dan penurunan tarif fentanyl AS dari 20% ke 10%.
Di pasar domestik, IHSG mencatatkan net buy asing sebesar Rp2,2 triliun setelah hasil positif pertemuan tersebut, meskipun sempat terkoreksi di awal pekan lalu akibat isu evaluasi perhitungan free float pada saham-saham berkapitalisasi besar.
Proyeksi IHSG dan Rekomendasi IPOT
Sementara itu dari sisi pasar keuangan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi bergerak dinamis mengikuti sentimen dari rilis data ekonomi domestik. Secara teknikal, level 8.354 menjadi batas atas untuk skenario optimistis, dengan asumsi bahwa rilis data pertumbuhan ekonomi dan inflasi mampu menunjukkan stabilitas fundamental yang cukup baik serta menjaga persepsi positif investor terhadap daya tahan ekonomi nasional.
Sebaliknya untuk skenario terburuk, IHSG diperkirakan dapat menguji area 7.959, terutama jika data pertumbuhan ekonomi menunjukkan perlambatan yang lebih dalam dari ekspektasi pasar atau jika tekanan eksternal kembali meningkat, misalnya dari arah kebijakan moneter global maupun volatilitas pasar komoditas.
Merespons dinamika pasar ini, IPOT yang kini telah bertransformasi menjadi Wealth Creation Platform merekomendasikan strategi investasi yang berfokus pada saham-saham defensif dan berkinerja solid dengan Booster Modal dan instrumen obligasi yang kesemuanya ini bisa dikelola dengan fitur Multi-Account untuk memisahkan setiap strategi ataupun tujuan investasi sehingga risiko lebih mudah untuk dikelola dan fitur Shared Access yang dapat digunakan keluarga dan komunitas untuk berkolaborasi dan berinvestasi bersama.
1. Buy on Pullback KLBF (Entry: 1235- 1255, Target Price: 1345 dan Stop Loss: 1215). Kinerja Kalbe Farma (KLBF) yang solid hingga kuartal III/2025 semakin memperkuat posisinya sebagai saham defensif di tengah potensi perlambatan ekonomi nasional. Perseroan membukukan penjualan sebesar Rp25,98 triliun, tumbuh 7,22% YoY, sementara laba bersih naik 10,97% YoY menjadi Rp2,63 triliun, mencerminkan efisiensi operasional yang terjaga serta peningkatan margin di tengah tekanan biaya produksi.
2. Buy JPFA (Entry: 1510, Target Price: 2730 dan Stop Loss: 2430). Japfa Comfeed Indonesia (JPFA) menunjukkan kinerja yang solid sepanjang 9 bulan 2025 dengan laba bersih mencapai Rp2,4 triliun, tumbuh 15,1% YoY dan melampaui estimasi konsensus sebesar 75% dari target setahun penuh, di atas rata-rata historis lima tahunnya di 68%. Pencapaian ini didorong oleh lonjakan laba kuartal III-2025 sebesar Rp1,2 triliun atau naik 90,6% YoY, seiring dengan pemulihan kuat harga broiler dan DOC yang mendorong perbaikan margin secara signifikan.
3. Buy TAPG (Entry : 1880, Target : 2000 dan Stop Loss: 1825). Di tengah potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi, Triputra Agro Persada (TAPG) tampil menonjol dengan kinerja yang solid hingga kuartal III-2025. Perseroan membukukan pendapatan Rp8,20 triliun, tumbuh 31,48% YoY dari Rp6,24 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Menjelang akhir tahun, permintaan minyak sawit (CPO) berpotensi mengalami lonjakan signifikan seiring dengan meningkatnya kebutuhan industri makanan dan minuman menjelang periode perayaan Natal dan Tahun Baru, serta kenaikan permintaan dari sektor energi akibat peningkatan alokasi program biodiesel domestik.
4. Buy Obligasi RF0100, FR0091 dan FR0059. Penghentian kebijakan Quantitative Tightening (QT) oleh The Fed menjadi katalis positif bagi pasar obligasi global, termasuk Indonesia. Langkah ini menandakan adanya pelonggaran kondisi likuiditas dan potensi perubahan arah kebijakan moneter menuju fase yang lebih akomodatif. Dengan berakhirnya pengetatan neraca The Fed, tekanan terhadap imbal hasil (yield) global mulai mereda, memberikan ruang bagi penurunan suku bunga jangka panjang dan penguatan arus modal masuk ke pasar emerging market. (id09)













