JAKARTA (Waspada.id): Industri halal akan mencatat peningkatan signifikan pada 2026, dengan konsumsi produk halal domestik diproyeksikan mencapai US$259,8 miliar. Sementara ekspor produk halal diperkirakan naik menjadi US$73,9 miliar. Kinerja ini dinilai menjadi salah satu motor penting dalam memperkuat perekonomian Indonesia tahun depan.
Selain industri halal, ekonomi dan keuangan syariah nasional juga diperkirakan melesat. Nilai aset keuangan syariah diperkirakan naik dari Rp3.158 triliun pada 2025 menjadi Rp3.508 triliun pada 2026 atau tumbuh 14,8 persen.
Proyeksi tersebut disampaikan Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI), Banjaran Surya Indrastomo dalam BSI Sharia Economic Outlook 2026 bertema “Indonesia 2026: Resilient, Bold, and Promising” yang disusun oleh Office of Chief Economist BSI, di Jakarta, Kamis (4/12/2025).
Banjaran menjelaskan bahwa outlook perekonomian 2026 disusun berdasarkan delapan pilar fundamental, yaitu normalisasi perdagangan global, rotasi aset ke emerging markets, meningkatnya daya tarik Rupiah, program prioritas pemerintah, “Efek Purbaya” dalam kebijakan ekonomi, ketahanan konsumsi rumah tangga, agenda hilirisasi, serta proyeksi indikator ekonomi makro.
“Kombinasi delapan faktor ini menjadi fondasi kuat bagi Indonesia dalam memasuki 2026, di tengah dinamika global yang penuh tantangan,” ujarnya.
BSI mencatat bahwa ekonomi global pada 2026 diproyeksikan tumbuh 3,2 persen sesuai proyeksi IMF. ASEAN diperkirakan tetap menjadi pusat pertumbuhan utama, meski lima faktor risiko global perlu dicermati, yaitu tingginya utang negara, potensi asset bubble, tensi perdagangan, fragmentasi pertumbuhan, serta transformasi sistem perdagangan akibat produktivitas berbasis kecerdasan buatan.
Sejalan dengan meredanya tekanan inflasi, The Fed diproyeksikan menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 bps, menuju kisaran 3,25–3,50 persen pada 2026. “Normalisasi ini memberi ruang bagi masuknya kembali aliran investasi ke emerging markets, termasuk Indonesia,” kata Banjaran.
Perekonomian nasional pada 2026 diperkirakan tumbuh 5,28 persen, ditopang konsumsi rumah tangga, peningkatan investasi khususnya PMDN, serta kebijakan fiskal yang tetap ekspansif namun terukur.
Indikator utama lainnya yakni laju inflasi (2,94 persen); BI Rate akhir 2026 (4,25 persen); Yield SBN 10 tahun (rata-rata 6,49 persen) serta cadangan devisa ( US$150 miliar).
Menurut Banjaran, stabilitas Rupiah akan diperkuat oleh potensi kembalinya aliran modal asing, meningkatnya cadangan devisa, serta optimalisasi instrumen SRBI dan pasar obligasi domestik.
BSI juga menyoroti peran besar ‘Efek Purbaya’, yakni kebijakan fiskal dan keuangan yang lebih ekspansif namun tetap hati-hati.
“Penempatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp276 triliun di perbankan, termasuk BSI, diyakini akan memperkuat likuiditas industri, menurunkan biaya dana, dan mendorong pertumbuhan pembiayaan kembali mencapai dua digit,” imbuh Banjaran.
Agenda hilirisasi diperkirakan menjadi motor pertumbuhan jangka menengah. BSI memprediksi percepatan pada industri pengolahan, perdagangan, akomodasi dan makan-minum, transportasi, serta jasa informasi dan komunikasi.
Banjaran menegaskan bahwa Indonesia memiliki peluang besar memasuki fase pertumbuhan yang lebih kuat pada 2026.
“Dengan kebijakan yang tepat dan optimalisasi potensi ekonomi syariah, Indonesia tidak hanya mampu menjaga ketahanan, tetapi juga mencapai pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” pungkasnya.(id11)


















