MEDAN (Waspada.id): Kepala Bursa Efek Indonesia (BEI) Sumatera Utara, M. Pintor Nasution, menjelaskan pentingnya memahami indeks saham bagi masyarakat dan investor pemula sebagai langkah awal meningkatkan literasi pasar modal di Indonesia.
Menurutnya, banyak masyarakat yang masih menganggap pasar saham sebagai dunia yang rumit dan penuh risiko, padahal ada alat sederhana yang bisa membantu memahami arah pergerakan pasar, yaitu indeks saham.
“Indeks saham itu ibarat cermin besar yang menunjukkan bagaimana kondisi pasar saham secara keseluruhan. Dari situ kita bisa tahu apakah kepercayaan investor terhadap ekonomi sedang menguat atau justru melemah,” ujar Pintor di Medan, Sabtu (1/11).
Pintor mengatakan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merupakan tolok ukur utama di pasar modal Indonesia yang mencerminkan pergerakan seluruh saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). IHSG mencakup berbagai sektor seperti perbankan, energi, teknologi, konsumsi, hingga infrastruktur.
“Ketika IHSG naik, berarti secara rata-rata harga saham mengalami kenaikan. Sebaliknya, jika turun, itu menandakan sentimen pasar sedang melemah. Karena itu IHSG sering disebut sebagai termometer ekonomi nasional,” jelasnya.
Selain IHSG, lanjut Pintor, BEI juga memiliki sejumlah indeks lain yang lebih spesifik seperti LQ45, IDX30, serta indeks berbasis syariah seperti Jakarta Islamic Index (JII) dan Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI). Ada pula indeks bertema keberlanjutan seperti IDX ESG Leaders dan IDX Growth30 yang menyoroti perusahaan dengan komitmen terhadap lingkungan dan pertumbuhan tinggi.
“Beragam indeks ini membantu investor untuk memahami segmen pasar tertentu. Misalnya, kalau LQ45 naik tapi IHSG turun, artinya saham-saham besar masih kuat sementara saham-saham kecil sedang tertekan,” tambahnya.
Menurut Pintor, pergerakan indeks saham tidak hanya ditentukan oleh angka dan data ekonomi, tetapi juga oleh faktor politik, global, dan psikologis pasar.
Ia mencontohkan, pandemi Covid-19 tahun 2020 yang sempat membuat IHSG anjlok lebih dari 30 persen akibat kepanikan global. Namun, seiring dengan pemulihan ekonomi dan vaksinasi, indeks perlahan kembali naik.
“Itu menunjukkan bahwa indeks bukan sekadar angka, melainkan cerminan daya tahan ekonomi dan optimisme masyarakat terhadap masa depan,” tuturnya.
Pintor juga menekankan bahwa bagi investor pemula, indeks saham dapat menjadi panduan awal dalam menentukan waktu masuk ke pasar.
Melalui pemantauan tren IHSG dan indeks sektoral, investor bisa mengetahui apakah pasar sedang bullish (menguat), bearish (melemah), atau sideways (stagnan).
Selain itu, indeks juga menjadi acuan bagi produk seperti reksa dana indeks dan Exchange-Traded Fund (ETF) yang menawarkan investasi pasif mengikuti kinerja pasar.
Lebih lanjut, Pintor menyebutkan bahwa stabilitas indeks saham sering kali menjadi indikator stabilitas ekonomi dan kepercayaan investor asing terhadap Indonesia.
“Ketika IHSG stabil dan menunjukkan tren positif, biasanya arus modal asing meningkat. Tapi jika indeks melemah karena faktor global, investor cenderung wait and see atau menarik dana keluar,” katanya.
Ia menegaskan, memahami indeks saham juga berarti memahami keterkaitan pasar Indonesia dengan pasar global seperti Dow Jones, Nasdaq, Nikkei 225, dan MSCI Emerging Markets Index.
“Pasar saham dunia kini saling terhubung. Jadi apa yang terjadi di Wall Street bisa berpengaruh ke Asia, termasuk Indonesia,” ujarnya.
Pintor berharap masyarakat semakin tertarik untuk mempelajari pasar modal melalui pendekatan yang lebih sederhana dan edukatif.
“Indeks saham mengajarkan kita untuk melihat gambaran besar, tidak hanya terpaku pada euforia jangka pendek. Dari sini kita belajar bahwa pasar, seperti kehidupan, selalu bergerak dinamis,” pungkasnya. (id09)













