Scroll Untuk Membaca

EkonomiNusantara

Menuju PPN XIII, Diskusi Publik Penyair Asia Tenggara & Pentas Puisi Mengawali Rangkaian 11–14 September 2025

Menuju PPN XIII, Diskusi Publik Penyair Asia Tenggara & Pentas Puisi Mengawali Rangkaian 11–14 September 2025
Kecil Besar
14px

Narasumber Diskusi Dialog Publik Penyair Asia Tenggara.
Dari kiri: Maman S Mahayana, Riri Satria, Mustafa Ismail, Imam Maarif dan moderator Fikar W. Eda. Waspada/Ist

JAKARTA (Waspada) : Menjelang Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII, panitia menghadirkan acara pemantik bertajuk “Menuju PPN XIII: Diskusi Publik Penyair Asia Tenggara & Pentas Puisi” di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Sabtu (6/9) pukul 09.30–12.00 WIB.

Forum ini mempertemukan para penyair lintas generasi dan peneliti sastra untuk mengulas peta puisi mutakhir Asia Tenggara sekaligus membuka panggung bagi karya-karya terbaru.

Gelaran di PDS HB Jassin menghadirkan lima pembicara: Maman S. Mahayana, Riri Satria, Ahmadun Y. Herfanda, Imam Ma’arif, dan Mustafa Ismail. Diskusi dipandu Fikar W. Eda sebagai moderator, sementara Rintis Mulya bertugas sebagai pewara. Dalam suasana hangat, para pembicara membentangkan isu-isu utama: perkembangan puisi kawasan, peran ruang-ruang komunitas, hingga bagaimana teknologi—khususnya kecerdasan artifisial—mencipta tantangan baru bagi proses kreatif penyair.

Acara ini juga berfungsi sebagai pengantar rangkaian PPN XIII yang akan berlangsung 11–14 September 2025 di sejumlah lokasi di Jakarta. Menjelaskan struktur kegiatan, Ketua Panitia PPN XIII Mustafa Ismail menekankan bahwa PPN XIII dirancang sebagai festival bertahap yang membuka ruang diskusi, perayaan, dan partisipasi publik secara luas.

“PPN XIII tetap kami laksanakan pada 11–14 September 2025. Malam pembuka akan kita gelar di sebuah ruang budaya Betawi, menjadi gerbang pertemuan para penyair. Hari berikutnya seminar berlangsung sejak pagi hingga sore, disambung lokakarya dan panggung anak muda sebagai ruang regenerasi,” ujar Mustafa Ismail.

Rangkaian hari ketiga akan bergeser ke Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Di sana, peserta diajak menilik khazanah naskah dan arsip, dilanjutkan pembacaan puisi, orasi literasi oleh Kepala Perpusnas, dan kuliah umum dari Riri Satria. Sesi ini diharapkan menghadirkan perenungan baru tentang masa depan puisi, terutama ketika ekosistem kreatif bersentuhan dengan teknologi.

“Kami ingin membuka perspektif tentang tantangan puisi di era kecerdasan artifisial—isu yang kian krusial dan tak bisa diabaikan. Di PPN XIII, teknologi disikapi sebagai tantangan untuk memperdalam imajinasi, bukan penghalang inspirasi,” tambah Mustafa Ismail.

Di forum PDS HB Jassin, Kurator Maman S. Mahayana menyoroti pentingnya kesinambungan riset dan dokumentasi sastra agar jejak perkembangan puisi Nusantara tidak tercerabut dari konteks sejarah.

Riri Satria berbagi pandangan tentang praktik kuratorial panggung puisi yang ramah generasi muda dan lintas medium—mendorong kolaborasi dengan musik, teater, hingga seni rupa. Ahmadun Y Herfanda membicarakan gerak tematik puisi Indonesia yang kian merentang dari persoalan ekologis sampai diplomasi kebudayaan.

Sementara, Imam Ma’arif menekankan kapasitas puisi sebagai alat perenungan sosial—mengolah trauma kolektif sekaligus merawat empati di tengah polarisasi.

Diskusi juga menyentuh dimensi regional. Panitia PPN XIII menyiapkan sesi yang menampilkan penyair-penyair dari berbagai negara Asia Tenggara; isu-isu kemanusiaan seperti perdamaian, migrasi, dan krisis kawasan akan menjadi sorotan.

Bagi kurator program, tema-tema tersebut bukan sekadar respons situasional, melainkan cara memosisikan puisi sebagai jembatan imajinasi antarbangsa. Pengalaman kerja sama kebudayaan—misalnya hubungan kultural antara komunitas penyair dari Asia Barat dan Eropa Timur—ditautkan untuk menunjukkan bagaimana sastra pernah (dan bisa kembali) berfungsi sebagai diplomasi kultural yang nyata.

Dalam keterangan panitia, persiapan PPN XIII sesungguhnya sudah digarap sejak akhir 2023. Prosesnya panjang: menyusun konsep, memastikan dukungan lintas lembaga, hingga merajut jejaring komunitas.

Jakarta dipilih bukan hanya karena kelengkapan infrastruktur budaya, tetapi juga posisinya sebagai kota literasi yang diakui di tingkat internasional. Momentum ini diolah panitia sebagai landasan untuk memperluas dampak PPN—tak semata seremoni tahunan, melainkan kerja kolaboratif yang menyambungkan komunitas-komunitas sastra di Jakarta Pusat, Barat, Selatan, Timur, dan Utara. Jejaring seperti Lingkar Sastra, SGT, Posakata, dan berbagai ruang kreatif mandiri akan dilibatkan melalui panggung terbuka, kelas menulis, serta tur sastra.

Selain forum diskusi dan panggung pembacaan, PPN XIII akan menghadirkan lokakarya tematik bagi penulis muda—berfokus pada penulisan puisi, pengelolaan komunitas, dan strategi publikasi. Panitia juga menyiapkan “panggung besar” yang mempresentasikan kolaborasi lintas negara, memadukan musik, terjemahan, dan performans.

Dari sisi kuratorial, program menempatkan pilihan tema sebagai jangkar: Timur–Barat, tanah air dan diaspora, serta isu perdamaian di kawasan. Dengan rancangan ini, diharapkan penyair dapat menyodorkan wacana yang membuat publik “membaca ulang” peristiwa geopolitik melalui puitika; bukan propaganda, tetapi pengalaman estetik yang menumbuhkan empati.

Penekanan pada perdamaian muncul bukan tanpa alasan. Sejumlah pengalaman diplomasi budaya menunjukkan bahwa karya sastra mampu membuka ruang dialog ketika saluran resmi mengalami kebuntuan.

Dalam sejarah kebudayaan, makam Jalaluddin Rumi di Konya, misalnya, telah lama menjadi magnet ziarah kebudayaan lintas negara—contoh bagaimana warisan sastra melahirkan ekonomi kreatif dan hubungan antarkomunitas yang lestari. PPN XIII mengusulkan cara pandang serupa dalam konteks Asia Tenggara: menjadikan puisi sebagai ruang temu di tengah perbedaan.

Di tahap produksi, panitia menggarisbawahi dinamika pendanaan dan logistik yang kerap naik-turun. Namun kolaborasi dengan berbagai pihak—lembaga kebudayaan, komunitas akar rumput, dan para relawan—membuat mesin PPN terus bergerak. Prioritas tahun ini adalah keterlibatan publik: memastikan panggung-panggungnya tidak eksklusif, melainkan memancing partisipasi warga, terutama generasi muda. Untuk itu, lokakarya dan sesi open mic dirancang cair, sementara diskusi-diskusi kebijakan kebudayaan tetap disiapkan sebagai ruang serius untuk menyampaikan gagasan.

Sebagai pra-acara, Diskusi Publik Penyair Asia Tenggara & Pentas Puisi di PDS HB Jassin tidak hanya merangkum gagasan inti PPN XIII, tetapi juga menegaskan wajah festival: inklusif, lintas batas, dan berorientasi pada masa depan. Publik diajak mengikuti rangkaian penuh pada 11–14 September 2025, menyimak dialog, menikmati pembacaan, dan terlibat langsung di lokakarya. Bagi media dan pegiat literasi, PPN XIII menjadi kesempatan untuk memetakan ulang perkembangan puisi mutakhir Nusantara dan jejaring Asia Tenggara.

Proses Kuratorial

Dalam kesempatan itu, terkait puisi yang masuk seleksi dan akan dijadikan antologi, Mama S Mahayana selaku kurator menekankan, bahwa ketika menilai sebuah karya, yang harus dilihat bukanlah siapa penulisnya, melainkan bagaimana kualitas karyanya.

“Ada yang bertanya, siapa anak muda yang karyanya masuk? jawabannya ada di karya itu sendiri.”

Pertimbangan utama dalam penilaian selalu kesesuaian dengan tema. Setelah itu, barulah hal-hal lain menyusul. Semangatnya adalah semangat persebaran dan pemerataan, jadi aspek itu pun menjadi bagian penting dalam penilaian. Maka, kriteria pertama adalah kebaruan karya: sejauh mana karya itu menghadirkan sesuatu yang baru, segar, dan layak dibicarakan.

Tentu saja ada unsur subjektivitas. Itu wajar. Misalnya, ketika menilai puisi, tim kurator harus bisa mempertanggungjawabkan pilihannya—kenapa karya si A layak masuk, sementara karya si B tidak.

“Kalau ada yang ingin berdebat, silakan, bahkan sampai malam pun kita siap. Karena dasar penilaiannya jelas, bukan sekadar suka atau tidak suka. Kita tidak bisa asal memilih, apalagi hanya berdasarkan perasaan pribadi,” ujarnya.

Kalau puisinya memang bagus, kata Maman, maka harus diakui bagus. Jangan sampai sikap pribadi menutup mata terhadap mutu karya. Jadi, objek pertama yang kita nilai adalah karya itu sendiri. Hal-hal lain hanya menyusul kemudian.

Ia berharap, melalui kegiatan ini, semua penulis merasa damai dan bersaudara, bukan hanya dalam karyanya, tapi juga dalam sikap hidupnya. Jangan sampai puisinya berbicara tentang perdamaian, tetapi penulisnya justru hidup dengan penuh pertentangan. Itu berbahaya. Maka politik bahasa juga ikut berperan di sini.

Representasi fenomena

Mengenai relevansi puisi di zaman ini, Riri Satria seorang insinyur sekaligus matematikawan yang juga mencintai puisi, mencoba memberikan jawaban berbeda dari perspektifnya.

Ia mengklaim bukan sebegai penyair profesional, melainkan seseorang yang hidup dalam dunia algoritma, mesin, dan logika matematika, namun tetap menaruh cinta mendalam pada puisi. Pertanyaan mendasar yang ia angkat adalah: apakah puisi masih penting di masa depan? Pertanyaan ini sederhana, tapi jawabannya bisa berlapis-lapis. Jika ditanya pada penyair, tentu mereka akan menjawab bahwa puisi penting. Namun jawaban itu bisa terasa subjektif. Justru menarik bila pertanyaan ini dijawab dari sudut pandang seorang insinyur atau ilmuwan.

“Bagi saya, matematika, algoritma, serta program komputer memiliki satu kesamaan dengan puisi: sama-sama merepresentasikan fenomena yang kompleks dengan simbol-simbol yang sederhana,” ujar Riri.

Dari sudut pandangnya, puisi bukan sekadar permainan bahasa, tetapi cara lain manusia memahami keindahan hidup dan merangkum kompleksitas semesta. Ia menekankan bahwa puisi tidak hanya relevan bagi penyair, melainkan juga bagi siapa saja yang berusaha memahami dunia, termasuk mereka yang terbiasa bekerja dengan logika eksakta.

Riri kemudian merangkum sejumlah literatur dan diskusi global mengenai masa depan puisi. Menurutnya, puisi tidak akan mati; ia justru akan berevolusi mengikuti perkembangan zaman. Salah satu hal yang menonjol adalah keterlibatan kecerdasan buatan dalam menciptakan karya sastra.

AI mampu merangkai kata indah, meski ia sendiri tidak pernah merasakan keindahan itu. Konsep ini disebut meta estetika, yaitu keindahan yang lahir dari mesin, tetapi tetap diarahkan oleh manusia.

Selain itu, puisi di masa depan juga akan bertransformasi menjadi jejaring luas melalui internet. Bentuk hypertext poetry memungkinkan satu teks menjelaskan teks lain, menciptakan jaringan puisi global. Dengan internet pula, karya bisa menyebar hanya dalam hitungan detik ke seluruh penjuru dunia.

“Puisi masih relevan, justru karena teknologi membuatnya dapat diakses, diterjemahkan, dan didiskusikan secara real time oleh orang-orang di berbagai belahan dunia,” ungkapnya dengan penuh keyakinan.

Puisi di masa depan juga tidak lagi hanya berbentuk teks diam. Ia akan semakin multimedia, beralih wahana dengan memanfaatkan teknologi digital. Akan ada puisi yang hadir sebagai video, musik interaktif, bahkan karya visual yang hidup.

Lebih jauh, interaksi antarpenyair akan berkembang menjadi tradisi berbalas puisi global. Satu bait diunggah, lalu dijawab oleh penyair lain di belahan dunia berbeda. Dengan demikian, rantai puisi internasional bisa terbentuk, membangun solidaritas kemanusiaan melalui seni.

Di sisi lain, penerjemahan otomatis membuat puisi kian universal. Bayangkan, sebuah puisi berbahasa Indonesia bisa langsung muncul dalam versi bahasa Inggris, Jepang, atau Arab sesaat setelah diunggah.

Hal ini membuka ruang dialog lintas budaya yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Salah satu konsep menarik yang dibahas Riri adalah artneering, perpaduan antara seni dan rekayasa. Baginya, teknologi bukan ancaman, melainkan bagian dari perkembangan seni itu sendiri.

AI seperti ChatGPT sudah mampu menulis puisi. Namun ia menekankan, unsur seni sejati tetap berada pada manusia: kontemplasi, perasaan, dan makna. Mesin hanya menyediakan bentuk, sedangkan manusia memberi ruh. Dengan demikian, puisi di masa depan akan menjadi hasil kolaborasi antara kecerdasan buatan dan sentuhan manusia.

Selain persoalan bentuk, Riri juga menyinggung aspek kepemilikan. Di era digital, autentifikasi puisi bisa dilakukan dengan NFT (non-fungible token). Setiap karya yang direkam dalam sistem blockchain akan memiliki identitas unik, sehingga hak cipta penyair terjaga secara global.

Teknologi ini, kata Riri, menjamin bahwa puisi tetap dihargai sebagai karya otentik meski beredar di dunia maya.
Puisi tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi keindahan, tetapi juga sebagai penjaga peradaban.

Riri mengutip teori John Naisbitt tentang high tech, high touch: semakin tinggi teknologi, semakin dibutuhkan sentuhan kemanusiaan. Dalam konteks ini, puisi hadir sebagai pengimbang, memberi ruang bagi refleksi, empati, dan makna di tengah derasnya arus digitalisasi. Ia menegaskan bahwa pembahasan ini bukan tentang puisi masa lalu, melainkan puisi futuristik. Menurutnya, semua literatur yang ia baca mengarah pada satu kesimpulan: puisi tetap relevan di masa depan, hanya saja bentuk dan mediumnya berubah.

Riri menutup refleksinya dengan menekankan pentingnya membawa generasi muda, khususnya Generasi Z, untuk mengenal puisi masa depan. Mereka hidup di tengah dunia digital, dan puisi bisa hadir sebagai ruang untuk memahami diri dan peradaban tanpa kehilangan akar sejarahnya.

Ia percaya, jika puisi mampu bertransformasi mengikuti perkembangan zaman, maka generasi muda akan tetap dapat menikmatinya. Bukan untuk mengulang-ulang romantisme masa lalu, tetapi untuk memperkaya peradaban di masa depan.

Bagi Riri Satria, puisi pada dasarnya adalah simbol kehidupan. Sama seperti matematika dan algoritma, ia menyederhanakan kompleksitas dengan cara yang indah. Maka, pertanyaan apakah puisi masih penting di masa depan sudah terjawab. Bukan hanya penting, tetapi juga semakin relevan. “Puisi,” katanya.

“Adalah cara manusia menggambarkan betapa indahnya Tuhan mendesain alam semesta ini.” tambahnya.

Informasi Umum Rangkaian PPN XIII:
11 September 2025 (Malam): Pembukaan di ruang budaya Betawi; temu penyair dan pentas pembuka.
12 September 2025: Seminar dan lokakarya dari pagi hingga sore; pentas anak muda pada petang.
13 September 2025 (Pagi–Siang): Kunjungan dan tur literasi di Perpusnas; pembacaan puisi, orasi literasi Kepala Perpusnas, serta kuliah umum Riri Satria.
14 September 2025: Panggung besar PPN bertema Asia Tenggara; kolaborasi lintas negara.
Untuk informasi media, konfirmasi liputan, dan jadwal rinci, silakan menghubungi panitia PPN XIII. Kehadiran Anda akan memperkaya percakapan publik tentang puisi dan kebudayaan kita. (j01)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE