MEDAN (Waspada.id): Badan pusat statistik (BPS) telah merilis laju tekanan inflasi Sumut untuk bulan September sebesar 0.65% secara bulanan (montoh to month), dan angka inflasi sebesar 5.32% secara tahunan atau year on year. Sementara itu, laju pertumbuhan ekonomi Sumut di kuartal kedua sebesar 4.69% secara tahunan (yoy).
“Kita bisa menafsirkan atau menganalogikan data tersebut kasarnya begini, satu tahun terakhir pengeluaran masyarakat di Sumut bertambah sebanyak 5.32%, tetapi kenaikan pendapatan masyarakatnya hanya sebesar 4.69%,” ujar Pengamat Ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin, Rabu (1/9).
Gunawan menyebutkan, sudah pasti masyarakat rugi karena kenaikan pendapatan tidak serta merta mampu menutupi pengeluaran. “Dan dari dua indikator yakni pertumbuhan ekonomi dan inflasi, maka inflasi sebenarnya yang relatif lebih bisa dikendalikan, tentunya dengan effort atau upaya yang lebih di saat sejumlah harga kebutuhan pokok masyarakat naik belakangan ini,” ujarnya.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi masih harus berhadapan dengan sejumlah tantangan efisiensi anggaran, ketidakpastian ekonomi global, daya beli yang melemah, tingginya undisbursed loan hingga harga komoditas yang melandai. Sedangkan tumpuan pertumbuhan ekonomi masih mengandalkan aliran dana pemerintah yang mengandalkan dorongan belanja rutin (pegawai dan pembangunan), belanja koperasi desa merah putih dan MBG (makan bergizi gratis) hingga alokasi belanja untuk bantuan sosial.
“Sebenarnya pemerintah daerah (Pemda) di Sumut bisa melakukan upaya untuk meredam gejolak inflasi di masa mendatang. Tidak sulit untuk melihat potensi gejolak harga kedepan dengan melihat pola tanam, perubahan cuaca hingga pola belanja. Pemda itu seharusnya bisa lebih berhati-hati di saat deflasi atau tren penurunan harga terjadi dalam suatu periode tertentu,” katanya.
“Di saat deflasi terjadi secara berturut-turut, maka yakinlah inflasi besar akan terjadi. Dan di saat deflasi beruntun itu terjadi, di saat itu pula kita sudah persiapkan kebijakan untuk memitigasi inflasi. Itu adalah jargon bagi pemerintah untuk menjaga kestabilan harga. Jadi ada upaya jauh hari yang dilakukan sebelum semuanya terlambat. Memang ada upaya pemerintah untuk memitigasi kenaikan harga salah satunya dengan Gerakan Pangan Murah (GPM),” sambungnya.
Namun, katanya, GPM masih terkonsentrasi pada komoditas beras, walaupun memang beras ini memiliki urgensi untuk dikendalikan harganya. Tetapi GPM bisa diperluas pada komoditas lainnya, dan tidak hanya dihilir saja. GPM semestinya juga bisa dilakukan di hulu dengan memastikan bahwa produksi pangan di Sumut tersedia di masa mendatang.
Saat ini, kata Gunawan, inflasi tinggi terlihat dari kenaikan harga cabai yang signifikan. Inflasi ini akan membuat geliat petani untuk bercocok tanam terjaga. Tetapi, tren belanja masyarakat yang terganggu belakangan ini bisa memaksa penurunan supply atau produksi pada komoditas tertentu. Ini bisa membuat kita terjebak dalam bahaya deflasi maupun inflasi tinggi yang berulang.
“Memang tidak akan menjadi masalah serius saat terjadi deflasi atau inflasi yang signifikan selama pertumbuhan ekonomi bisa berada di atasnya (deflasi/inflasi). Tetapi pertanyaannya apakah pemerintah mampu memastikan hal seperti itu akan terjadi secara berkesinambungan,” pungkasnya. (id09)