MEDAN (Waspada.id): Kebutuhan modal perusahaan yang semakin dinamis mendorong pelaku usaha untuk mencari sumber pendanaan yang lebih variatif dan efisien. Selain melalui Initial Public Offering (IPO) saham maupun penerbitan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk (EBUS), pasar modal Indonesia sebenarnya menyediakan instrumen lain yang memiliki potensi besar namun belum dimanfaatkan secara optimal, yakni Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA).
Kepala Bursa Efek Indonesia (BEI) Perwakilan Sumatera Utara, M. Pintor Nasution mengatakan, KIK EBA merupakan instrumen sekuritisasi aset yang memberikan peluang bagi perusahaan untuk memperoleh pendanaan baru dengan memanfaatkan aset keuangan produktif yang dimiliki.
“KIK EBA memungkinkan perusahaan memperoleh dana segar dari pasar modal dengan memanfaatkan arus kas masa depan dari aset produktif, tanpa harus menambah beban utang baru di neraca. Ini menjadi alternatif pendanaan yang strategis dan fleksibel,” ujar Pintor.
Menurutnya, dibandingkan instrumen pendanaan konvensional, KIK EBA menawarkan keunggulan berupa struktur yang transparan, teratur, serta telah memiliki kerangka hukum dan regulasi yang jelas. Hal ini memberikan kepastian baik bagi penerbit maupun investor.
Sebagai bagian dari instrumen pasar modal, penerbitan dan pencatatan KIK EBA diatur melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 65/POJK.04/2017 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, serta Peraturan BEI Nomor I-K tentang Pencatatan Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Pintor menjelaskan, struktur KIK EBA dibangun melalui kontrak antara Manajer Investasi sebagai pengelola portofolio dan Bank Kustodian yang menjalankan fungsi penitipan kolektif. Efek Beragun Aset (EBA) sendiri diterbitkan berdasarkan aset keuangan yang dialihkan melalui mekanisme true sale ke dalam portofolio KIK EBA.
“Aset keuangan tersebut nantinya menghasilkan arus kas yang menjadi dasar pembayaran kepada investor. Dengan mekanisme ini, perusahaan tetap dapat menjaga bisnis inti berjalan tanpa harus menjual aset strategisnya,” jelasnya.
Pada tahun 2025, BEI telah mencatat satu penerbitan KIK EBA terbaru, yakni KIK EBA Syariah BRI–MI Jakarta Lingkar Barat Satu dengan nilai pokok mencapai Rp1,8 triliun. Capaian ini menunjukkan bahwa instrumen sekuritisasi aset masih memiliki ruang pengembangan yang luas di Indonesia.
Dalam regulasi OJK, aset keuangan yang dapat menjadi portofolio KIK EBA mencakup antara lain tagihan kredit, tagihan kartu kredit, arus kas dan pendapatan di masa mendatang, hingga efek bersifat utang yang dijamin pemerintah. Luasnya cakupan aset ini memungkinkan perusahaan menyesuaikan skema sekuritisasi dengan karakteristik bisnis masing-masing.
Selain sebagai sumber pendanaan alternatif, Pintor menambahkan bahwa KIK EBA juga berperan dalam diversifikasi pendanaan perusahaan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada perbankan, khususnya di tengah kondisi suku bunga yang fluktuatif.
“Proses sekuritisasi juga mendorong peningkatan tata kelola dan transparansi perusahaan. Ini bukan hanya meningkatkan kepercayaan investor, tetapi juga memperkuat kredibilitas perusahaan di mata regulator dan pemangku kepentingan lainnya,” katanya.
Meski demikian, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi sebelum KIK EBA dapat diterbitkan dan dicatatkan di BEI. Di antaranya adalah memperoleh pernyataan efektif dari OJK, memiliki laporan keuangan awal yang telah diaudit oleh akuntan publik terdaftar, serta memperoleh peringkat investment grade dari lembaga pemeringkat efek yang terdaftar di OJK.
Melihat besarnya potensi tersebut, BEI Sumut mendorong perusahaan yang memiliki aset keuangan produktif untuk mulai mempertimbangkan sekuritisasi melalui KIK EBA sebagai bagian dari strategi pendanaan jangka menengah dan panjang.
“Dengan dukungan regulasi yang kuat dan infrastruktur pasar yang semakin matang, KIK EBA dapat menjadi solusi pendanaan yang inovatif, efisien, dan berkelanjutan bagi perusahaan,” tutup Pintor. (id09)











