JAKARTA (Waspada.id): Beberapa pekan terakhir, dinamika politik dan sosial di Indonesia mengguncang pasar keuangan. Gelombang demonstrasi massa yang menyebar di berbagai kota membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi. Pada 29 Agustus 2025, IHSG tercatat turun lebih dari dua persen, sementara rupiah melemah mendekati satu persen hingga menjadi sekitar Rp16.475 per dolar Amerika Serikat, posisi terendah sejak awal bulan.
Untunglah, Bank Indonesia segera turun tangan, melakukan intervensi di pasar valas dan obligasi untuk meredam gejolak. Pemerintah pun menyampaikan pesan tegas bahwa fundamental ekonomi Indonesia tetap solid. Pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini bahkan mencapai 5,12 persen, tertinggi dalam dua tahun terakhir.
Kepala Bursa Efek Indonesia (BEI) Perwakilan Sumatera Utara, M. Pintor Nasution mengingatkan, pada pertengahan 1997, krisis moneter Asia memicu jatuhnya berbagai mata uang kawasan, dan rupiah adalah salah satu yang paling parah. Dari level sekitar Rp2.600 per dolar, kurs terjun bebas hingga menembus Rp14.800 dalam hitungan bulan. Inflasi melonjak hingga di atas 60 persen, Produk Domestik Bruto menyusut lebih dari 13 persen, dan dunia usaha kolaps.
“Bursa Efek Jakarta kala itu mencatat penurunan IHSG hingga menyentuh level 256 pada September 1998, dari posisi tertinggi sebelumnya di kisaran 700. Krisis itu tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga politik dan sosial. Gelombang demonstrasi menumbangkan Orde Baru, dan ketidakpastian melingkupi seluruh sendi kehidupan,” kenangnya.
Namun, sambung Pintor, sejarah juga menunjukkan bahwa titik terendah bisa menjadi awal pemulihan. Setelah jatuh sedalam itu, IHSG bangkit kembali. Pada 1999, hanya setahun setelah keterpurukan, indeks melesat lebih dari seratus persen dari level terendahnya. Rupiah pun berangsur stabil di kisaran Rp8.000–10.000 per dolar. Reformasi struktural dilakukan secara menyeluruh: pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN/IBRA), merestrukturisasi bank, dan mulai menata regulasi keuangan agar lebih tangguh.
Pintor menyebutkan, dua dekade lebih berselang, warisan reformasi itu terlihat jelas. Indonesia kini memiliki cadangan devisa sekitar 150 miliar dolar, jauh lebih besar daripada 20 miliar dolar pada penghujung 1997. Sistem perbankan lebih sehat, dengan rasio kecukupan modal mencapai sekitar 26 persen dan kredit bermasalah yang rendah.
“Otoritas Jasa Keuangan hadir untuk memastikan pengawasan yang lebih ketat, sementara Lembaga Penjamin Simpanan menjaga kepercayaan masyarakat. Kebijakan moneter pun lebih fleksibel, dengan kurs mengambang yang diimbangi intervensi terukur, sehingga gejolak pasar tidak serta-merta berubah menjadi krisis berkepanjangan,” jelasnya.
Dibandingkan kondisi 1998, situasi saat ini jauh lebih terkendali. Memang benar, IHSG sempat terkoreksi dan rupiah tertekan, tetapi skala guncangannya tidak sebesar seperempat abad lalu. Fundamental ekonomi tetap positif, inflasi berada dalam kisaran target, defisit anggaran terjaga di bawah tiga persen dari PDB, dan investasi asing masih terus masuk.
“Yang lebih penting, respons otoritas kini jauh lebih cepat dan transparan. Pernyataan resmi dari pemerintah dan Bank Indonesia mampu menenangkan pasar, sementara kebijakan fiskal dan moneter berjalan beriringan menjaga stabilitas,” katanya.
Bagi investor, sejarah memberi pelajaran berharga. Volatilitas memang bagian dari pasar modal. Koreksi tajam sering kali menakutkan, namun justru di situlah peluang jangka panjang terbuka. IHSG pernah jatuh ke titik terendah pada 1998, namun bangkit dengan kekuatan berlipat ganda. Demikian pula pada krisis 2008, indeks sempat terkoreksi lebih dari 50 persen, tetapi satu tahun kemudian sudah menunjukkan pemulihan yang signifikan.
“Pola yang sama bisa kita harapkan hari ini: gejolak sesaat bukan berarti akhir dari perjalanan, melainkan bagian dari siklus yang berulang,” ujarnya.
Pintor mengimbau masyarakat tidak perlu panik menghadapi kabar harian tentang pelemahan rupiah atau koreksi IHSG. Yang penting adalah melihat tren jangka panjang dan memahami bahwa sistem ekonomi Indonesia jauh lebih siap dibanding era lalu.
“Dengan pondasi yang kuat, cadangan devisa besar, sistem perbankan sehat, serta koordinasi kebijakan yang solid, Indonesia memiliki daya tahan yang jauh lebih besar menghadapi guncangan eksternal maupun internal,” ujarnya.
Krisis 1998 menjadi pengingat bahwa badai terbesar sekalipun bisa dilewati, bahkan menjadi titik balik untuk bangkit. Kini, di tengah hiruk pikuk politik dan tekanan pasar, Indonesia tidak lagi berada di posisi rapuh seperti dulu. Pasar modal mungkin terguncang, rupiah mungkin tertekan, tetapi pondasi ekonomi dan kepercayaan internasional tetap kokoh.
“Seperti pepatah pasar yang sering diulang, volatilitas adalah bagian dari perjalanan investasi jangka panjang. Dan Indonesia, dengan segala pengalaman pahit masa lalu, kini lebih tangguh untuk menghadapinya,” pungkasnya. (id09)












