JAKARTA (Waspada): Program 3 juta rumah yang merupakan salah satu prioritas pemerintahan Prabowo – Gibran jika tanpa didukung teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), maka hanya akan menjadi angka diatas kertas. Mengingat setiap tahun selalu terjadi kekurangan pasokan unit rumah (backlog) dengan berbagai persoalan yang timbul.
“Backlog perumahan kita telah berlangsung puluhan tahun. Jika pendekatannya masih konvensional, maka target 3 juta rumah hanya akan menjadi angka di atas kertas,” kata Tuhu Nugraha, Chairman dan Founder TechFusion Alliance dalam keterangannya di akhir pekan kemarin.
Dia menegaskan, bahwa teknologi AI bisa menjadi pilar utama yang harus diintegrasikan dalam setiap tahap pembangunan perumahan nasional. Karena AI adalah alat untuk mengubah bagaimana merencanakan, membangun, membiayai, hingga menyalurkan rumah kepada masyarakat yang membutuhkan.
Sebelumnya Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah menyebut backlog rumah mencapai 15 juta unit pada 2025. Jumlahnya naik 51,5 persen dari data Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya sebesar 9,9 juta unit per 2023.
Menurut Tuhu, AI bisa memainkan peran krusial mulai dari pemetaan lokasi strategis berbasis geospasial, perhitungan kebutuhan rumah per wilayah, verifikasi data penerima manfaat, hingga pengawasan proyek pembangunan secara real-time melalui teknologi computer vision dan IoT.
“Teknologinya sudah berkembang sangat dashyat dan kita mesti segera mengadopsinya kalau mau serius merealisasikan target pembangunan 3 juta rumah,” ujar Tuhu yang juga principal Applied Digital Economy and Regulatory Network (IADERN).
Sementara itu Deddy H. Pakpahan, Co-Founder TechFusion Alliance yang juga founder digitalbank.id mengatakan, sistem berbasis
AI bahkan bisa memprediksi potensi keterlambatan proyek, kelangkaan bahan bangunan, atau anomali anggaran sebelum masalah muncul ke permukaan.
“Inilah kekuatan prediktif AI. Bukan hanya menyelesaikan masalah, tapi mencegahnya sejak dini. Kasus penyalahgunaan dana FLPP [Fasilitas Likuditas Pembiayaan Perumahan] banyak sekali terjadi di daerah. Dana FLPP-nya terbatas jadi tambah habis kalau dikorupsi. Nah, dengan teknologi AI penyalahgunaan dana FLPP bisa kita minimize,” terangnya.
Sedangkan dalam konteks pembiayaan perumahan, TechFusion mengungkapkan bahwa Bank BTN sebagai ‘aktor kunci’ yang perlu terus memperkuat transformasi digitalnya. Sebagai bank spesialis perumahan, BTN memiliki posisi strategis untuk menyalurkan skema KPR bersubsidi maupun komersial kepada segmen MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah).
“BTN saat ini sudah melangkah ke arah digital. AI sudah bisa membantu BTN menyusun profil risiko debitur dengan lebih akurat atau mempercepat proses approval KPR, tapi transformasi BTN harus didorong lebih jauh seperti menyesuaikan produk kredit berdasarkan perilaku digital calon nasabah,” jelas Tuhu.
Lebih lanjut dia mengatakan, AI dan digitalisasi bukan hanya untuk kemudahan internal BTN, tetapi bisa membawa misi sosial KPR subsidi ke tingkat berikut. Sehingga calon nasabah bisa lebih cepat mendapatkan informasi.
“Prosesnya menjadi lebih cepat, tepat sasaran, efisien, dan transparan. Ini juga membuka akses informasi untuk MBR atau milenial non-bankable, sehingga mampu menjadikan BTN sebagai pelopor KPR subsidi digital terintegrasi di Indonesia,” tutur Deddy.
TechFusion mendorong kolaborasi antara BTN dan ekosistem teknologi nasional untuk mengembangkan digital mortgage ecosystem yang sepenuhnya terdigitalisasi, dari simulasi cicilan, penilaian properti, hingga penandatanganan dokumen elektronik.
TechFusion juga menyoroti pentingnya reformasi teknologi di BP Tapera sebagai pengelola dana pembiayaan rumah nasional. Sebab BP Tapera memegang data sangat strategis, mulai dari data kepesertaan ASN, pekerja swasta, hingga penyaluran dana, yang bisa diolah dengan AI untuk menghasilkan peta backlog dinamis dan simulasi pembiayaan paling efektif di tiap daerah.
“BP Tapera perlu mengadopsi teknologi data analytics dan AI secara menyeluruh agar bisa bertindak lebih taktis. Jangan hanya jadi penyalur dana, tapi menjadi pusat kendali informasi dan strategi pembiayaan perumahan nasional dan kami siap berkolaborasi,” tegas Deddy.
TechFusion, lanjut dia, membuka ruang kolaborasi untuk menciptakan Tapera Smart Dashboard, sistem terpadu berbasis AI yang memetakan kebutuhan perumahan berdasarkan data real-time dari daerah, data kepesertaan, dan profil risiko keuangan masyarakat.
Sementara mengenai posisi pengembang dalam kontels pemanfaatan AI untuk pembangunan perumahan, asosiasi engembang seperti Real Estate Indonesia (REI), Apersi, atau Himppera harus mengambil peran proaktif.
Deddy menegaskan, di era AI pengembang tidak bisa
lagi mengandalkan intuisi dan relasi semata. Dibutuhkan pendekatan berbasis data dan sistem digital end-to-end. Karena itu asosiasi pengembang harus menjadi pelopor adopsi AI di kalangan pengembang,” tandas Deddy.
“Misalnya, dalam menentukan lokasi proyek berdasarkan potensi pasar, harga lahan, dan demografi. Bahkan AI bisa dipakai untuk mendesain rumah yang sesuai preferensi pasar lokal,” urainya.
TechFusion mengajak seluruh asosiasi pengembang agar mendorong para anggotanya masuk ke era smart developer, yakni pengembang yang menggunakan teknologi untuk merancang, memasarkan, hingga mengelola hunian dengan efisien dan berkelanjutan.
TechFusion saat ini telah menyiapkan AI-based Property Intelligence Platform yang bisa diakses pengembang untuk keperluan riset pasar, perencanaan proyek, hingga monitoring proyek konstruksi. TechFusion Alliance percaya bahwa program 3 juta rumah bisa menjadi momentum untuk membangun ekosistem digital perumahan nasional.
Saat ini TechFusion tengah mengembangkan konsep Digital Housing Command Center, sebuah pusat kendali nasional
berbasis AI yang akan membantu pemerintah memantau progress pembangunan rumah di seluruh Indonesia secara real-time.
“Data dari kontraktor, pengembang, pemerintah daerah, BP Tapera, dan BTN akan terhubung dalam satu sistem yang bisa dianalisis secara prediktif dan preskriptif. Dengan ini, pemerintah bisa langsung tahu proyek mana yang macet, wilayah mana yang backlog-nya tinggi, hingga kelompok masyarakat mana yang belum tersentuh KPR,” jelas Deddy.
TechFusion juga tengah menjajaki kerja sama dengan Bappenas, Kementerian Perumahan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan perbankan untuk mengintegrasikan sistem scoring kredit berbasis AI, yang memungkinkan pekerja informal, UMKM, (J03)