JAKARTA (Waspada.id): Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2026 mencapai 5,33 persen, sementara pemerintah telah menetapkan sebesar 5,4 persen
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, perbedaan pertumbuhan ini karena proyeksi BI disusun dengan memperhitungkan kebijakan moneter yang akan ditempuh untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan tersebut mulai dari penurunan suku bunga acuan, perluasan ekspansi likuiditas moneter, pemberian insentif likuiditas makroprudensial, hingga program moneter BI.
“Untuk pertumbuhan ekonomi 2026 sesuai perkiraan-perkiraan kami adalah 5,33 persen. Ini kami sudah mempertimbangkan penurunan ekonomi global termasuk mitra kerja utama,” ujar Perry saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, dikutip Kamis (13/11/2025).
Proyeksi pertumbuhan ekonomi BI ini lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026, di mana pertumbuhan ekonomi dipatok sebesar 5,4 persen.
Menurut Perry, target pemerintah tersebut masih mungkin tercapai, tergantung pada kecepatan dan efektivitas realisasi belanja pemerintah.
“Semakin cepat pengeluaran fiskalnya itu bisa dilakukan, pertumbuhan dapat saja mencapai 5,4 persen. Kami masih menggunakan pola pengeluaran APBN yang selama ini,” jelasnya.
Namun Perry optimistis, ke depan pengeluaran fiskal dapat direalisasi lebih cepat dari tahun ini, sehingga peluang pertumbuhan ekonomi 2026 mencapai 5,4 persen sebagaimana target APBN 2026 dapat terwujud.
Sedangkan untuk inflasi, BI memproyeksikan inflasi pada 2026 akan berada di level 2,62 persen. Angka ini masih dalam kisaran sasaran inflasi BI sebesar 2,5 persen plus minus 1 persen, namun di atas asumsi dasar APBN 2026 yang sebesar 2,5 persen.
Untuk nilai tukar rupiah, bank sentral memproyeksikan rata-rata kurs berada di sekitar Rp16.430 per dollar AS. Proyeksi ini sedikit lebih optimis dibandingkan APBN 2026 yang mematok kurs sebesar Rp16.500 per dollar AS.
“Saya kira ini adalah realistis karena memang seperti tadi kami sampaikan, kondisi global tahun 2026 masih tetap fluktuatif, dengan volatilitas yang tinggi, dan risiko arus modal ke luar negeri masih besar,” jelas Perry.
Kendati demikian, ke depannya, BI akan terus melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah dengan melakukan lebih banyak intervensi, baik melalui non-delivery forward maupun di pasar spot.
Meski diakuinya, bahwa kebijakan intervensi yang akan dilakukan BI ini bakal berpengaruh pada pengurangan cadangan devisa. (Id88)












