Scroll Untuk Membaca

Ekonomi

Tambang PT CLM Terhenti, Ganggu Perekonomian Masyarakat Malili

Aktifitas pertambangan nikel. Ilustrasi
Aktifitas pertambangan nikel. Ilustrasi
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Perekonomian masyarakat di sekitar lokasi pertambangan PT Citra Lampia Mandiri (CLM) selama ini kehidupannya bergantung pada kegiatan pertambangan PT CLM mulai terganggu, karena perputaran roda perekonomian masyarakat turut terhenti akibat berhentinya kegiatan pertambangan perusahaan tersebut.

Achmad Sobri, Kepala Teknik Tambang dari manajemen PT CLM di bawah pimpinan Direktur Utama (Dirut) Helmut Hermawan, mengatakan terganggunya perekonomian masyarakat di sekitar pertambangan nikel PT CLM di Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan konsekuensi logis dari berhentinya kegiatan pertambangan PT CLM.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Tambang PT CLM Terhenti, Ganggu Perekonomian Masyarakat Malili

IKLAN

Menurut Sobri, sebelum kegiatan pertambangan terhenti akibat pengambilalihan ilegal PT CLM terjadi pada tanggal 7 November 2022, PT CLM setiap bulannya mengeluarkan biaya (operating cost) sebesar Rp 40 miliar untuk membayar berbagai kebutuhan barang dan jasa.

Yakni, mulai dari kebutuhan logistik (makanan dan minuman), pengadaan komponen (spare part), sewa alat berat dan peralatan tambang lainnya.

Kemudian, biaya energi (solar), sewa tempat tinggal karyawan, sewa kendaraan angkutan karyawan, sewa tongkang hingga uang saku untuk siswa-siswi PKL dan mahasiswa magang.

Berbagai kebutuhan barang dan jasa tersebut hampir seluruhnya disediakan oleh perusahaan dan masyarakat lokal di sekitar lokasi pertambangan di Malili.

Dana sebesar Rp 40 miliar tersebut, kata Sobri, termasuk sangat besar untuk ukuran satu kecamatan seperti Malili.

Gerakkan Roda Kehidupan Ekonomi

Perputaran dana sebesar itu di masyarakat Malili mampu menggerakkan roda kehidupan perekonomian masyarakat di sana, sehingga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara signifikan.

Sebagian besar (hampir seluruh) biaya operating cost tersebut didistribusikan kepada tiga kontraktor utama yang semuanya merupakan perusahaan lokal.

Di bawah ketiga perusahaan kontraktor utama itu terdapat perusahaan-perusahaan subkontraktor yang mengerjakan pekerjaan tertentu di bawah koordinasi kontraktor utama dan semua biayanya ditagihkan ke PT CLM.

Sobri mengatakan ketiga perusahaan kontraktor itu mempekerjakan tenaga kerja lokal yang 99% berasal dari 3-5 desa di Kecamatan Malili. Jumlah total tenaga kerja di tiga perusahaan kontraktor itu mencapai 900 orang.

Sehingga. dengan asumsi masing-masing pekerja memiliki satu istri dan dua anak, maka jumlah penduduk Malili yang secara langsung penghidupannya bergantung kepada usaha pertambangan PT CLM mencapai 3.600 orang.

Jumlah tersebut belum termasuk masyarakat Malili turut menikmati kue perekonomian sebagai imbas dari usaha pertambangan PT CLM namun tidak secara langsung bersentuhan dengan kegiatan usaha pertambangan seperti usaha penginapan, rumah makan/restoran, pariwisata dan lain-lain.

“Kini, dengan berhentinya kegiatan pertambangan nikel PT CLM pasca penyerobotan dan pengambilalihan secara ilegal, perputaran ekonomi selama ini dirasakan masyarakat Malili sudah tidak ada lagi. Tentu saja mereka juga turut menjadi korban dari pengambilalihan PT CLM secara ilegal ini,” tegas Sobri.

Biaya Operasional

Secara terinci Sobri mengatakan, pengeluaran biaya operasional bulanan perusahaan sebelum penghentian kegiatan tambang nikel PT CLM di Malili sebagian besar (80%) memang untuk sewa alat dan pengadaan spare part.

Yaitu, sekitar 50% atau Rp 20 miliar untuk membayar sewa alat berat dan alat pertambangan lainnya dan 30% (sekitar Rp 12 miliar) untuk membeli spare part.

Selebihnya untuk pembelian bahan bakar solar (sekitar 1 juta liter per bulan senilai Rp 6,8 miliar), pengadaan logistik makanan/minuman senilai Rp 350 juta per bulan bekerjasama dengan BUMDES setempat.

Selamjutnya, sewa tempat tinggal karyawan (khususnya untuk karyawan nonlokal), sewa kendaraan angkutan karyawan CLM dan kontraktor (Rp 750 juta per bulan) dan untuk uang saku siswa PKL dan mahasiswa magang (Rp 20 juta per bulan).

Biaya sebesar itu belum termasuk biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mendanai kegiatan Rencana Umum Pemberdayaan Masyarakat (RUPM) — dulu dikenal dengan sebutan Corporate Social Responsibility (CSR) mencapai Rp 5 miliar per tahun.

Dana sebesar itu digunakan antara lain untuk membiaya kegiatan Jumat Berkah, bedah rumah penduduk sekitar lokasi tambang, pembangunan rumah ibadah dan lain-lain.

Di luar dana-dana tersebut perusahaan (PT CLM) masih memberikan kontribusi pemasukan bagi negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam bentuk royalti, yang pada tahun 2022 ini hingga akhir Oktober 2022 sudah mencapai Rp 176 miliar.

“Semua dana tersebut, baik dikeluarkan sebagai biaya operasional perusahaan, dana RUPM maupun PNBP kini otomatis tidak ada lagi pasca berhentinya kegiatan pertambangan nikel PT CLM,” kata Sobri menegaskan.(m12)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE