JAKARTA (Waspada): Kembali Uni Eropa mendiskrimatif produk ekspor asal Indonesia. Kali ini akan menimpa industri besi dan baja dengan berlakunya Carbon Border Adjusment Mechanism (CBAM) diterapkan pada 2026.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan saat ini Indonesia menghadapi tantangan berupa perlakuan diskriminatif secara bertubi-tubi dari Uni Eropa.
Mulai dari adanya undang-undang (UU) Deforestasi yang sudah mulai diterapkan terhadap produk sawit atsu palm crude oil (CPO), hingga kini adanya mekanisme penyesuaian batas karbon atau CBAM yang mengancam industri besi dan baja.
“CBAM akan dilakukan pada 2026 dan industri besi dan baja akan menjadi subjek dari pada carbon border,” ungkap Airlangga dalam acara Bisnis Indonesia bertema Green Economy Forum, Rabu (7/6/2023).
Penerapan CBAM, lanjutnya, membuat negara-negara yang memproduksi besi dan baja dapat dikenakan pajak lingkungan unilatertally atau secara sepihak oleh negara-negara Eropa, apabila perusahaan di negara tersebut belum membayar pajak karbon.
Melansir dari halaman resmi pemerintah Uni Eropa, CBAM akan mulai berlaku dalam fase transisi mulai 1 Oktober 2023 dan sistem permanen mulai berlaku pada 1 Januari 2026.
Importir harus menyatakan setiap tahun jumlah barang yang diimpor ke UE pada tahun sebelumnya dan gas rumah kaca (GRK) yang tertanam di dalamnya.
Mereka kemudian akan menyerahkan nomor sertifikat CBAM yang sesuai. Harga sertifikat akan dihitung tergantung pada harga lelang rata-rata mingguan tunjangan emiision trading system UE yang dinyatakan dalam EUR/ton emisi CO2.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) kinerja ekspor besi dan baja (HS72) pada April 2023 sebesar US$2,2 miliar. Terpantau adanya penurunan harga komoditas unggulan tersebut menjadi US$117,4/mt, meski volume tercatat naik menjadi 1,4 juta ton. (J03)