Oleh: Wira Putra
Di TENGAH dinamika politik dan pembangunan nasional, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintahan Preside Prabowo Subianto dan Wakil Pesiden Gibran Rakabuming Raka, menghadirkan babak baru dalam desain pembangunan pangan Indonesia.
MBG bukan sekadar program bantuan sosial, melainkan instrumen ekonomi yang menuntut rantai pasok pangan yang kuat, terintegrasi, dan mampu menyediakan bahan baku dalam skala massal dan berkelanjutan.
Dalam konteks inilah, sektor pertanian kembali menempati posisi strategis, dan desa memperoleh relevansi yang tidak pernah sebesar hari ini.
Namun ada problem besar yang selama ini menghantui pembangunan pedesaan: hilangnya generasi penerus petani. Anak-anak muda berbondong-bondong pindah ke kota karena sektor pertanian dianggap tidak menjanjikan.
Kondisi ini sejalan dengan apa yang dijelaskan Everett Rogers dalam teori modernization diffusion bahwa pembangunan yang tidak diiringi modernisasi ekonomi desa akan memicu rural exodus atau migrasi keluar desa.
Kini, momentum itu berubah. MBG membuka pasar baru yang pasti, berulang, dan dapat diprediksi. Inilah jenis kepastian yang dibutuhkan untuk menghidupkan kembali sektor pertanian.
Teori Pusat Pertumbuhan
Dalam Growth Pole Theory yang dikembangkan oleh François Perroux, perkembangan ekonomi akan bergerak dari pusat-pusat pertumbuhan menuju wilayah sekitarnya melalui efek positif dari penyebaran pembangunan dari sebuah pusat pertumbuhan ke wilayah sekitarnya (spread effects).
Dalam konteks MBG, dapur-dapur MBG yang muncul di berbagai daerah berpotensi menjadi pusat pertumbuhan komoditas pangan baru di tingkat lokal.
Dapur MBG dapat memicu tumbuhnya permintaan sayur, buah, dan protein lokal. Berkembangnya usaha tani komoditas spesifik. Bertambahnya aktivitas ekonomi desa, dan terbentuknya industri pendukung seperti distribusi, logistik, dan pengolahan hasil pertanian.
Dengan kata lain, dapur MBG berfungsi sebagai growth pole yang dapat menahan arus urbanisasi dengan menciptakan pusat ekonomi baru di desa.
Ruang Ekonomi Masa Depan
Menurut Ellis (Rural Livelihood Theory), keberlanjutan ekonomi desa ditentukan oleh kemampuan rumah tangga desa untuk menggabungkan natural capital, human capital, dan social capital.
Ketiganya dapat aktif kembali ketika : pertama, ada pasar yang stabil. Kedua, ada dukungan teknologi dan logistik. Serta ketiga ada aktor baru: anak muda.
Program MBG menciptakan demand shock yang besar terhadap komoditas hortikultura dan pangan segar.
Kenaikan permintaan ini menghadirkan peluang emas bagi generasi muda untuk kembali ke sektor pertanian dengan pendekatan yang lebih modern: hidroponik, pertanian presisi, manajemen rantai dingin, hingga platform digital pemasaran.
Pemuda menjadi penting karena mereka memiliki karakteristik yang dibutuhkan sektor pangan hari ini: adaptif, terdidik, dan akrab dengan teknologi.
Pembangunan Desa–Kota: Kembali ke Desa Bukan Langkah Mundur
Friedmann dan Douglass dalam teori Rural-Urban Linkages menjelaskan bahwa kekuatan pembangunan suatu negara ditentukan oleh hubungan timbal balik antara desa dan kota.
Selama ini hubungan ini timpang — kota tumbuh pesat sementara desa tertinggal. MBG merupakan intervensi yang menghubungkan kembali desa ke pusat-pusat ekonomi di kota melalui rantai pasok pangan.
Di sinilah relevansi anak muda muncul: mereka bukan hanya petani baru, tetapi penghubung modern antara desa dan kota, memanfaatkan digitalisasi untuk membangun ekosistem pangan yang efisien.
Maka, ajakan untuk kembali ke desa bukanlah nostalgia romantik, melainkan strategi ekonomi berbasis teori pembangunan wilayah: menguatkan desa untuk mengurangi ketergantungan pangan impor dan mendorong kedaulatan pangan nasional.
Mengapa Anak Muda?
FAO melalui HLPE (High Level Panel of Experts) menyebutkan bahwa regenerasi petani hanya terjadi jika empat syarat dipenuhi: Market Access (akses pasar), Land Access (akses lahan), Finance Access (akses permodalan), Knowledge & Technology (pengetahuan dan teknologi).
Program MBG memenuhi syarat pertama: akses pasar yang pasti. Tugas negara berikutnya adalah menyiapkan syarat kedua hingga keempat karena tanpa itu, kita tak bisa berharap pemuda kembali ke desa secara masif.
Penutup
Kebijakan MBG menunjukkan bahwa negara sedang menata ulang arah ekonomi nasional: menempatkan pangan sebagai sektor strategis, desa sebagai pusat pertumbuhan baru, dan petani sebagai aktor ekonomi utama.
Momentum ini harus digunakan untuk menjadikan regenerasi petani sebagai agenda nasional.
Namun regenerasi tak akan terjadi tanpa akses permodalan yang inklusif bagi pemuda tani.
Modal kerja untuk hortikultura, pembangunan green house, sistem irigasi tetes, hingga pembiayaan alat pascapanen tidak mungkin ditanggung sendiri oleh petani pemula.
Karena itu, negara perlu memperluas KUR Pertanian berbunga rendah, Skema kredit berbasis kelompok tani muda, Pembiayaan dengan jaminan hasil panen (warehouse receipt), Kemitraan dengan BUMN Pangan untuk pembelian hasil secara berkontrak, dana bergulir desa melalui BUMDES atau Koperasi Merah Putih.
Dengan dukungan permodalan yang jelas dan dapat diakses, anak muda tidak hanya terdorong untuk kembali ke desa, tetapi juga mampu membangun usaha pertanian yang produktif, modern, dan berkelanjutan.
Ketahanan pangan Indonesia tidak ditentukan oleh gedung-gedung kota, tetapi oleh keberanian anak muda yang kembali ke tanah kelahiran mereka untuk menanam, membangun, dan memastikan Indonesia mampu memberi makan dirinya sendiri. (Penulis Bendahara Umum Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI)












