Persoalan sampah menjadi topik yang tak henti-hentinya terus dibicarakan, bahkan yang mengkhawatirkan volume sampah yang terus meningkat, sebagian besar tidak terkelola dengan baik, dan berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Di Kota Langsa, sebuah kota kecil dengan luas 262,41 km2 persoalan sampah masih menjadi masalah serius dengan timbunan sampah yang dijumpai di tiap sudut jalan, kecamatan dan gampong-gampong setiap harinya, menyebabkan pencemaran lingkungan dan mengancam ekosistem kesehatan masyarakat.
Bahkan, Dinas Lingkungan Hidup (LH) Kota Langsa yang menjadi garda terdepan dalam pengelolaan sampah dinilai tidak mampu dan terkesan kewalahan mengatasi persoalan sampah setiap harinya.
Sementara armada pengangkut yang sejatinya diperuntukkan untuk pengangkutan sampah banyak yang tidak jalan alias mangkrak, karena rusak dan menjadi besi rongsokan. Padahal penyerapan anggaran minyak dan perawatan di dinas tersebut mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya.
Begitu juga halnya, mesin pengurai sampah plastik di Tempat Pengumpulan Akhir (TPA) Gampong Pondok Kemeuneng, Kecamatan Langsa Lama yang seharusnya bisa menjadi alternatif pengelolaan sampah anorganik atau plastik menjadi besi tua dan sampah tidak terpakai. Seharusnya, mesin tersebut bisa menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Langsa, jika mesin tersebut bisa beroperasi maksimal untuk menghasilkan biji plastik dari sampah-sampah anorganik hasil limpah rumah tangga.

Selain itu, keberadaan bak ambrol yang sebelumnya masih ditemukan di setiap sudut-sudut jalan kini tak tahu keberadaannya. Padahal, bak ambrol itu sangat efektif pada masa Wali Kota Langsa Usman Abdullah-Marzuki Hamid (UMARA) karena sebelumnya banyak dibuat melalui Dana Desa oleh gampong-gampong. Kini semuanya lenyap.
Anehnya lagi, penumpukan sampah banyak terjadi di lokasi-lokasi yang sarat penduduk dan dekat dengan fasilitas umum, seperti rumah sakit dan fasilitas pendidikan. Salah satu tempat sampah dadakan yang kerap menjadi langganan pembungan sampah di jalan elak PTP yang berdekatan dengan Rumah Sakit Cut Meutia. Kemudian di Taman Krueng Langsa, persis di belakang Rumah Sakit Umum Daerah Langsa.
Selanjutnya, tempat penumpukan sampah juga terjadi di Jalan Lingkar Rel yang berdekatan dengan Dayah Abu Paya Pasi dan Jalan Ahmad Yani, persis di depan KL Kupi dan bersebelahan dengan Klinik Mata, serta masih banyak lokasi-lokasi lainnya yang menjadi langganan pembuangan sampah karena warga yang kebinggungan mau membuang sampah rumah tangganya.
Belum lagi permasalahan banjir di pusat Kota yang belakangan sering terjadi di Kota Langsa, dan luapan airnya sudah sampai ke pusat inti kota tepatnya di Pendopo Wali Kota Langsa dan Lapangan Merdeka. Benang merah persoalnya tetap ada di sampah yang menumpuk di dalam parit-parit yang mengakibatkan sistem lancar air di parit tersumbat, akibat penanganan sampah yang tidak maksimal.
Harusnya, Pemerintah Kota Langsa melalui Dinas Lingkungan Hidup Kota Langsa menggandeng setiap gampong untuk bisa mengalokasikan anggaran kembali bak ambrol atau memfungsikan yang masih ada dan menempatkan khusus di titik-titik tertentu, yang selanjutnya mobil armada sampah bisa mengangkut setiap harinya.
Meskipun ada armada becak gampong yang mengangkut sampah, tapi ini juga menjadi persoalan karena tidak semua gampong menyediakan armada tersebut. Belum lagi, setiap warga dikutip iuran sampah dengan nilai berbeda yang diperuntukan untuk upah angkut sampah dan pemasukan gampong. Namun, itu juga tak serius.
Di sisi lainnya, persoalan pohon-pohon besar yang berada di Jalan Protokol Jenderal Ahmad Yani, Kota Langsa pohonnya sudah tua dan besar serta tinggi-tinggi. Kondisi ini sangat rentan tumbang, seperti kejadian beberapa waktu lalu pohon tumbang yang menimpa dua mobil saat melintas di persimpangan depan Kantor Pos Kota Langsa.
Harusnya, pohon-pohon yang sudah besar dan berusia puluhan tahun tersebut dipangkas dan rapikan kembali, agar tidak tumbang ke jalan. Saat ini, warga yang melintas di sepanjang jalan Ahmad Yani Kota Langsa harus ekstra hati-hati, pasalnya saat musim hujan disertai angin pohon-pohon besar yang sudah miring ke arah jalan dikhawatirkan tumbang.
Ironi memang, pekerjaan rumah Dinas Lingkungan Hidup Kota Langsa sebagai institusi mengurusi hajat hidup orang banyak masih harus diuji kembali dalam persoalan lampu jalan yang ditangani dinas tersebut. Masih juga ditemukan setiap harinya banyak lampu-lampu jalan yang mati, apa karena rusak atau ketiadaan token lampu jalannya sehingga lampu tersebut banyak yang mati.
Apalagi, masih hangat dalam ingatan kita bersama persoalan lampu jalan ini juga pernah menyimpan jejak luka bahwa pernah terjadi dugaan korupsi terkait pembelian token lampu jalan oleh oknum di DLH mencapai miliaran rupiah. Semoga kejadian serupa tidak terjadi lagi di institusi tersebut.
Kompleksitas persoalan DLH Langsa ini tentu bisa menjadi batu sandungan bagi Pemerintah Kota Langsa untuk bisa meraih Piala Adipura dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), karena Kota Langsa sebelumnya berhasil dalam pengelolaan sampah dan ruang terbuka hijau.

Sementara KLH/BPLH memperkenalkan Konsep Baru Adipura, yang kini tidak hanya menilai estetika dan kebersihan kota, tetapi juga mengukur kapasitas kelembagaan, sistem pemilahan dari sumber, dan kepatuhan terhadap pelarangan TPA open dumping. Kota-kota yang masih menerapkan pembuangan terbuka secara otomatis tidak lagi memenuhi syarat Adipura.
Memang, fenomena sampah adalah kondisi menumpuknya limbah yang terus meningkat akibat pertumbuhan populasi dan konsumerisme, yang menyebabkan masalah serius bagi lingkungan dan kesehatan seperti pencemaran air dan tanah, polusi udara, serta gangguan pada ekosistem laut.
Penyebabnya meliputi perilaku masyarakat yang belum bertanggung jawab dan minimnya fasilitas pengelolaan sampah, sementara solusinya antara lain peningkatan kesadaran masyarakat, pengembangan bank sampah, dan pencarian potensi ekonomi dari sampah melalui daur ulang atau pemanfaatan biomassa.
Padahal, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) baru-baru ini telah memperkuat komitmen nasional menuju Indonesia Bebas Sampah 2029 melalui pelaksanaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengelolaan Sampah 2025 yang digelar di Jakarta International Convention Center dengan mengusung tema Menuju Kelola Sampah 100%.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah Indonesia pada tahun 2023 mencapai 56,63 juta ton. Namun, baru 39,01% (22,09 juta ton) yang dikelola secara layak. Mayoritas sisanya masih dibuang ke TPA terbuka (open dumping) yang mencemari lingkungan dan tak memenuhi standar pengelolaan modern.
Dari total 550 TPA di Indonesia, sebanyak 343 unit tengah diawasi untuk menghentikan praktik pembuangan terbuka. Lantas, bagaimana peran DLH Kota Langsa, apa bagian dari upaya menghentikan praktik pembuangan sampah terbuka atau sebaliknya, mencari upaya terbaik menangani secara proporsional.
Salah seorang warga Gampong Karang Anyar, Kecamatan Langsa Baro, Ratna Dewi yang sering melintasi jalan elak PTP mengeluhkan bau tak sedap setiap hari akibat sampah yang dibuang berserakan di sepanjang jalan tersebut.
Menurutnya, jalan ini memang belum difungsikan karena belum diaspal untuk jalan alternatif, sekarang kondisinya menjadi tempat pembuangan sampah oleh warga yang sengaja membuang sampah rumahnya di lokasi tersebut.
“Sebaiknya Pemerintah Kota Langsa serius menangani sampah, karena persoalan ini sudah sangat meresahkan warga saat ini. Padahal pada pemerintahan sebelumnya, persoalan sampah ditangani dengan baik, berbeda sekali tiga tahun belakangan ini,” tuturnya.
Hal serupa juga diutarakan warga di seputaran Jalan Rel dekat Islamic Center, Rudi yang mengaku setiap hari saat melintas mencium aroma tak sedap di lokasi tersebut saat melintas. Dulu sempat gak ada lagi sampah di lokasi, sekarang audah menumpuk lagi.
“Kemana bak ambrol yang dulu selalu ada untuk tempat pembuangan sampah. Gak tau rimbanya. Sementara warga disuruh buang sampah pada tempatnya, anehnya tempat sampah tidak disediakan. Alhasil, warga buang sampah sembarangan ke mana-mana,” ujarnya kesal.

Sementara Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Langsa, Dra Suhartini, M.Pd yang dihubungi wartawan, Rabu (10/9) terkait persoalan sampah mengaku pihaknya sudah banyak menerima laporan dari warga terkait penanganan sampah yang berserakan.
Ini, sambungnya, koreksi bagi kita untuk bisa lebih baik lagi menangani sampah. Jadi apa yang dikeluhkan warga akan selalu kita respon cepat untuk mengatasi persoalan sampah yang berserakan.
Selain itu, Suhartini mengaku akan segera memanggil Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG), Dinas Lingkungan Hidup dan para geuchik untuk mencari solusi menangani sampah yang berserakan.
Jadi, jika masih banyak dijumpai sampah berserakan di tiap sudut kota bagaimana Kota Langsa bisa meraih kembali Piala Adipura, jika melihat konsep penanganannya saja masih juah dari kata proporsional.
Harapannya, melalui tulisan ini menghasilkan langkah konkret untuk mewujudkan Kota Langsa yang bersih, sehat, dan lestari. Semoga..
Dj Rendra/Waspada.id