Oleh Isnaini Harahap
Indonesia sebagai negara dengan kekayaan budaya dan tradisi lokal yang sangat beragam memiliki sistem nilai, norma, serta praktik ekonomi yang mencerminkan kearifan lokal masyarakatnya. Tradisi seperti gotong royong, arisan, jula-jula dan bentuk-bentuk kerja sama lainnya telah lama menjadi bagian dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia.
Nilai-nilai bentuk kerjasama ini menekankan semangat kebersamaan, keadilan, dan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Di sisi lain, ekonomi syariah mengalami pertumbuhan pesat di Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat ekonomi syariah global. Hal ini diperkuat dengan filosofi ekonomi syariah yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan material, tetapi juga menjunjung tinggi nilai keadilan sosial, keseimbangan, kemaslahatan bersama, tolong-menolong, larangan riba, serta bagi hasil.
Dalam praktiknya, penerapan ekonomi syariah juga dihadapkan pada tantangan sosial-budaya. Masyarakat Indonesia yang majemuk masih sangat dipengaruhi oleh tradisi lokal yang memiliki karakter unik di setiap wilayah.
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengharmonisasikan
prinsip-prinsip ekonomi syariah dengan nilai-nilai kearifan lokal agar dapat menciptakan model ekonomi yang sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia namun tetap berlandaskan pada
nilai-nilai Islam.
Harmonisasi antara ekonomi syariah dan kearifan lokal menjadi penting karena keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Tradisi lokal menyediakan basis sosial yang kuat untuk membangun ekonomi yang partisipatif, sedangkan ekonomi syariah memberikan arah normatif dan etika bagi pengelolaan sumber daya. Sinergi keduanya dapat melahirkan sistem ekonomi khas Indonesia yaitu sistem yang berkeadilan, berkelanjutan, serta berakar pada nilai-nilai religius dan budaya bangsa.
Konsep Ekonomi Syariah
Ekonomi syariah merupakan sistem ekonomi yang berlandaskan pada ajaran Islam yang bertujuan untuk menciptakan atau mencapai falah yaitu kesejahteraan dunia dan akhirat melalui pengelolaan sumber daya secara adil, seimbang, dan bertanggung jawab.
Ekonomi Islam juga tidak hanya mengejar efisiensi ekonomi, tetapi juga distribusi keadilan dan kesejahteraan sosial. Dengan prinsip dasar tauhid (keesaan Allah), ‘adl (keadilan), maslahah (kemaslahatan), larangan riba, gharar, dan maisir, serta kerja sama (ta’awun) dan bagi hasil,
ekonomi syariah menempatkan manusia bukan sekadar sebagai pelaku pasar, tetapi sebagai pengelola bumi yang memiliki tanggung jawab moral dan sosial.
Konsep Kearifan Lokal
Kearifan lokal (local wisdom) merupakan nilai-nilai, norma, dan praktik tradisional yang terbentuk dari pengalaman panjang masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Nilai-nilai ini menjadi pengetahuan yang hidup dan diwariskan secara turun-temurun sebagai pedoman bertingkah laku di tengah masyarakat. Dalam konteks ekonomi, kearifan lokal tercermin melalui berbagai praktik seperti gotong royong, maro, mertelu, arisan dan jula-jula,
lumbung desa atau tradisi pengelolaan cadangan pangan bersama di tingkat desa, pengelolaan air irigasi sawah secara kolektif berbasis adat dan nilai spiritual (subak), sedekah bumi atau kenduri desa, koperasi adat dan BMT Komunitas, sasi serta lubuk larangan dan mapalus yaitu
sistem kerja sama masyarakat dalam kegiatan pertanian dan sosial dengan prinsip saling bantu tanpa pamrih.
Nilai-nilai kearifan lokal dari semua tradisi tersebut menekankan kebersamaan, kejujuran, kepercayaan, dan keseimbangan antara manusia dan alam.
Prinsip ini memiliki kesamaan dengan nilai-nilai universal Islam, terutama dalam hal keadilan sosial dan solidaritas.
Harmonisasi Ekonomi Syariah dan Kearifan Lokal
Harmonisasi antara ekonomi syariah dan kearifan lokal berarti menyatukan nilai-nilai Islam dengan praktik sosial-budaya masyarakat agar tercipta sistem ekonomi yang kontekstual dan
inklusif.
Islam yang memiliki karakter rahmatan lil ‘alamin, sesungguhnya dapat menyesuaikan diri dengan budaya lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Contoh bentuk harmonisasi antara tradisi lokal dengan praktek ekonomi syariah: Tradisi gotong royong sesungguhnya dapat diimplementasikan melalui pembentukan·lembaga keuangan mikro syariah (BMT) yang mengadaptasi sistem gotong royong dan kepercayaan sosial masyarakat.
Maro di Banyumas dan Mertelu di Sumatera Utara, tradisi ini mirip dengan sistem bagi·hasil dalam ekonomi syariah, di mana keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan.
Tradisi ini dapat diimplementasikan menjadi bentuk kerjasama hasil pertanian atau Kerjasama peternakan, dimana pembagian hasil didasarkan pada keadilan dan kontribusi masing-masing pihak.
Arisan dapat diadaptasi menjadi bentuk qard hasan atau pinjaman tanpa bunga jika·dilakukan tanpa unsur spekulasi atau denda keterlambatan. Jula-jula yang dipraktekkan hampir seluruh wilayah di Indonesia, tradisi ini dapat dikembangkan menjadi model menabung dan solidaritas sosial tanpa riba.
Lumbung Desa yang prakteknya dapat ditemukan di Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dapat dijadikan dasar untuk membangun baitul mal atau lembaga penyimpanan dan distribusi zakat Subak di Bali, walaupun berasal dari tradisi Hindu, nilai-nilainya yang universal yaitu keadilan, kebersamaan, dan tanggung jawab sosial, sangat relevan dengan prinsip Islam tentang hisbah atau pengawasan social.
Sedekah bumi atau kenduri desa jika dimurnikan dari unsur ritual yang tidak Islami,tradisi ini bisa menjadi sarana distribusi sosial.
Sasi di Maluku dan Papua serta lubuk larangan seperti Mandailing Natal, Jambi, dan Minangkabau yang digunakan sebagai tradisi untuk mengelola dan melestarikan sumber daya ikan sungai selaras dengan prinsip amanah dan tanggung jawab manusia menjaga bumi, tradisi ini dapat menjadi model pelestarian lingkungan dan keseimbangan ekonomi.
Mapalus dari Minahasa yang merupakan sistem kerja sama masyarakat dalam kegiatan pertanian dan sosial dengan prinsip saling bantu tanpa pamrih, dapat diaplikasikan untuk menguatkan konsep keadilan distributif dan solidaritas sosial dalam ekonomi Islam.
Dengan harmonisasi ini, ekonomi syariah tidak hadir sebagai sistem yang asing, melainkan sebagai penyempurna nilai-nilai lokal yang telah lama hidup di masyarakat. Tradisi-tradisi lokal tersebut menunjukkan bahwa nilai ekonomi yang telah hidup dan membumi dalam budaya
masyarakat dapat diformalkan secara institusional untuk pengembangan ekonomi syariah.
Model Ekonomi Berkeadilan Sosial
Model ekonomi berkeadilan sosial merupakan sistem ekonomi yang mengintegrasikan dimensi moral, sosial, dan spiritual dalam kegiatan ekonomi.
Dalam konteks Indonesia, model ini dapat dibangun melalui integrasi nilai Islam dan budaya lokal sebagai dasar etika ekonomi, partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan ekonomi syariah, seperti koperasi syariah atau BMT; pemberdayaan berbasis komunitas, serta pembangunan ekonomi inklusif, yang menempatkan
nilai keadilan dan kemaslahatan sebagai tujuan utama.
Dengan harmonisasi tersebut, diharapkan terbentuk model ekonomi khas Indonesia yang berakar pada budaya bangsa/tradisi
lokal, berlandaskan nilai-nilai Islam, serta mampu menjawab tantangan ketimpangan dan kemiskinan secara berkelanjutan.