Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26/PUU-XXI/2023 merupakan momen signifikan dalam sejarah hukum di Indonesia. MK menyatakan bahwa eksistensi Peradilan Pajak yang hingga kini masih terhubung dengan Kementerian Keuangan bertentangan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh UUD 1945.
Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa keberadaan Peradilan Pajak yang masih berada dalam bayang-bayang Kementerian Keuangan bertentangan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Dengan kata lain, sudah saatnya peradilan pajak berdiri tegak sebagai lembaga yudisial yang benar-benar merdeka. Putusan ini tidak hanya mengubah keadaan yang ada, tetapi juga memberikan kesempatan besar untuk memperbarui sistem peradilan administrasi kita. Ini adalah konsekuensi konstitusional yang bertujuan mengakhiri “dualisme” aneh yang selama ini menyelimuti peradilan pajak, sekaligus menjadi harapan panjang bagi wajib pajak untuk mendapatkan keadilan yang benar-benar independen.
Kenapa Harus ke PTUN?
Pajak memang urusan negara. Tapi sengketa pajak sejatinya bukanlah sekadar persoalan angka, melainkan sengketa administratif antara warga negara (wajib pajak) dengan pemerintah (fiskus). Logikanya sederhana: jika keputusan administrasi pejabat negara bisa digugat di PTUN, maka keputusan pajak seharusnya juga masuk dalam ranah itu. Selama ini, problem besar muncul karena Peradilan Pajak masih punya ikatan dengan Kementerian Keuangan.
Bayangkan, lembaga yang memungut pajak sekaligus punya peran dalam mengadili sengketa pajak. Konflik kepentingan jelas tak terhindarkan. Bagaimana mungkin keadilan bisa dirasakan, jika hakim masih punya “bayang-bayang” eksekutif.
Putusan MK 26/PUU-XXI/2023 menjadi titik balik. MK menetapkan bahwa pembinaan Peradilan Pajak harus beralih sepenuhnya ke MA, selambat-lambatnya 31 Desember 2026. Mandat ini menegaskan bahwa dalam Negara Hukum (Rechtsstaat), seluruh badan peradilan harus berada di bawah satu atap yudikatif.
Integrasi Peradilan Pajak ke PTUN adalah solusi paling logis dan konstitusional. Sengketa pajak pada hakikatnya adalah sengketa administratif, timbul dari keputusan pejabat publik (fiskus). Oleh karena itu, yurisdiksi PTUN adalah rumah yang paling tepat.
Merajut Sistem Peradilan Administrasi yang Baru
Integrasi ini membuka peluang besar untuk merekonstruksi sistem peradilan administrasi secara menyeluruh, mencakup tiga aspek penting:
- Penguatan Kelembagaan: Peradilan Pajak idealnya akan dilebur menjadi Kamar Khusus dalam lingkungan PTUN. Hal ini menghilangkan dualisme kelembagaan dan memperjelas hierarki peradilan, termasuk kemungkinan pembentukan pengadilan pajak tingkat banding sesuatu yang belum ada saat ini.
- Kualitas Sumber Daya Hakim: Proses rekrutmen hakim pajak tidak boleh lagi diwarnai oleh pegawai pajak yang berlatar belakang Kemenkeu. Seleksi hakim harus dilakukan secara independen oleh Komisi Yudisial dan MA, memastikan bahwa hakim yang terpilih memiliki kompetensi teknis sekaligus integritas moral yang bebas dari konflik kepentingan.
- Kepastian Hukum dan Prosedur: Perlu segera disusun hukum acara khusus yang menggabungkan prinsip PTUN dengan kekhususan sengketa pajak. Ini harus dibarengi dengan digitalisasi persidangan dan penguatan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (ADR) sebagai gerbang awal sebelum kasus masuk ke meja hijau.
Jalan Panjang Menuju Keadilan Sejati
Integrasi Peradilan Pajak ke PTUN adalah langkah strategis, bukan hanya untuk memenuhi amanat konstitusi, tetapi juga untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi wajib pajak. Ketika peradilan pajak telah sepenuhnya independen dan menjadi bagian utuh dari kekuasaan kehakiman, kepercayaan masyarakat akan pulih.
Putusan yang dihasilkan akan dinilai berdasarkan hukum dan fakta, bebas dari intervensi kekuasaan, dan pada akhirnya, akan memperkuat legitimasi sistem hukum Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan akuntabel.
Tantangan ke depan adalah sinkronisasi regulasi dan kesiapan sumber daya manusia di MA. Pemerintah dan parlemen harus segera menindaklanjuti putusan MK ini dengan langkah legislasi nyata sebelum batas waktu 2026 tiba. (Hermansyah Hutagalung, Mahasiwa Program Doktor Ilmu Hukum (S-3) Universitas Sumatera Utara Medan dan Maurice Rogers, Peneliti pada Pusat Riset Hukum, Badan Riset dan Inovasi Nasional)