Gunung yang ia maksud bukan gunung biasa. Di situlah perut bumi Kabupaten Pidie menyimpan emas, logam yang tidak pernah gagal membuat manusia lupa pada batas. Emas menjadi janji manis dan racun yang sama mematikannya.
Malam di Geumpang, Kabupaten Pidie turun pelan-pelan seperti tirai tebal yang menutup panggung rahasia. Kabut menggantung di antara pucuk-pucuk pohon, seperti doa yang tidak sampai ke langit.
Jalanan lengang, sepi seperti napas yang ditahan. Namun di sudut sebuah SPBU remang, kehidupan berdenyut dengan detak yang berbeda, detak rahasia, detak gelap.
Truk-truk tua mengantre seperti hantu besi. Mesin mereka berderum malas, lampu kuning temaram, jeriken-jeriken plastik berbaris kaku bagai prajurit siap tempur. Dari sela jeriken, bau solar menyelinap ke udara malam: tajam, menusuk, dan jujur — lebih jujur dari mulut banyak manusia.
“Setiap malam begini,” bisik seorang lelaki paruh baya, menyilangkan tangan di dada seolah takut udara ikut mengadukan. “Solar naik ke gunung. Ke tambang.”
Gunung yang ia maksud bukan gunung biasa. Di situlah perut bumi Kabupaten Pidie menyimpan emas, logam yang tidak pernah gagal membuat manusia lupa pada batas. Emas menjadi janji manis dan racun yang sama mematikannya.
Di balik kabut, di antara sunyi, ada roda ekonomi gelap yang berputar tanpa suara. Solar bersubsidi, hak nelayan dan petani, perlahan mengalir ke jantung tambang emas ilegal.
Rahasia Lama di Tepi Gunung
Cerita tentang penyelewengan solar di Geumpang, Kabupaten Pidie bukan rahasia. Ia seperti kabar angin yang tak pernah usang. Dari warung kopi ke warung kopi, dari tepi jalan ke lereng gunung, kabar itu menitis dalam obrolan malam.
“Kalau polisi mau tahu, datang saja tengah malam,” ujar seorang sopir. “Tidak perlu jadi detektif. Solar keluar terang-terangan.” katanya.
Truk-truk itu bukan mengangkut padi atau hasil bumi. Mereka mengangkut bensin kehidupan negara, mengaraknya ke atas gunung. Di sana, mesin-mesin raksasa menyalak, menggali isi bumi dengan rakus. Emas ditambang tanpa izin, tanpa hati, tanpa henti. Dan negara pun berdarah, bukan karena perang, melainkan karena ulah tangan-tangan sendiri.
Negara yang Bocor Pelan-pelan
Dalam hitungan negara, solar bersubsidi adalah bentuk kasih, sebuah jaring pengaman bagi mereka yang hidup di pinggiran ekonomi. Tetapi di Geumpang, ia menjadi jalan sunyi menuju kejahatan terorganisir.
Triliunan rupiah menguap seperti kabut di pagi hari. Para pelaku diduga tidak hanya para penambang, tetapi juga sebagian pemilik SPBU yang seharusnya menjaga distribusi seperti menjaga sumpah.
Lemahnya pengawasan menjadi pintu terbuka, dan di balik pintu itu, para pemain menari di atas kebocoran uang rakyat.
Desakan dari Akar Rumput
Masyarakat sudah terlalu lama menonton sandiwara yang sama. Mereka tak lagi butuh janji, hanya tindakan.
“Solar subsidi bukan untuk menambang emas,” kata seorang tokoh masyarakat, suaranya berat, seperti denting palu hakim. “Kalau negara diam, berarti negara ikut.” tegasnya.
Sorotan kini tertuju pada Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi dan Pertamina. Publik menuntut audit menyeluruh, siapa membeli, siapa mengirim, siapa yang menutup mata.
Di Tikungan Hukum
Hukum menunggu seperti tikungan tajam di jalan pegunungan. Bila semua terbukti, para penyeleweng dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Tetapi hukum bukan sekadar pasal. Ia adalah cermin. Dan lewat cermin itu, bangsa ini akan melihat seberapa serius ia melindungi tubuhnya sendiri dari luka.
Green Policing: Jalan Sunyi yang Ditempuh
Kapolres Pidie AKBP Jaka Mulyana menghela napas panjang saat berbicara di forum diskusi. “Masalah PETI tidak bisa diselesaikan hanya dengan penindakan,” ujarnya. “Kita perlu pendekatan yang menyentuh akar preventif, edukatif, dan memberi jalan alternatif.”
Ia menyebut konsep green policing, pendekatan humanis dan berbasis lingkungan yang diinisiasi oleh Kapolda Aceh. Sebuah cara untuk menyembuhkan luka bumi tanpa menambah luka manusia.
Suara dari Balai Pemerintah
Bupati Pidie H Sarjani Abdullah bersuara tegas, “PETI bukan hanya melanggar hukum. Ia merusak hutan, mencemari sungai, mengancam hidup anak-anak kita.”
Kajari Suhendra mengingatkan pentingnya izin resmi seperti IUP, IPR, dan SIPB sebagai jalan legal pengelolaan sumber daya alam. Kabag SDA Teuku Kamaruzzaman menambahkan, satu-satunya jalan damai adalah penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) legalisasi tambang rakyat agar hukum dan perut rakyat tak lagi beradu.
Deklarasi di Tengah Kabut
Tokoh masyarakat mendukung inisiatif itu. Mereka percaya, solusi bukan hanya dalam borgol dan pasal, melainkan dalam kesepakatan moral dan keberanian untuk berubah.
Deklarasi bersama pun ditandatangani. Menolak segala bentuk PETI, Mendukung sosialisasi bahaya tambang ilegal, Mendorong pembentukan WPR sebagai jalan ekonomi rakyat.
Epilog: Geumpang dan Malam yang Tidak Tidur
Malam Geumpang masih menyimpan rahasia. Kabut masih tebal, truk-truk tua masih melintas seperti bayangan panjang. Solar masih mengalir dalam diam, emas masih dikais dari perut bumi.
Namun di antara kabut itu, kini ada suara yang tidak lagi berbisik, suara masyarakat, aparat, dan pemerintah daerah yang mulai berani bicara. Mungkin kabut ini tidak akan hilang besok, tetapi setiap langkah kecil akan menjadi terang.
Sebab negeri ini tidak akan sembuh bila luka-lukanya terus dibiarkan bernanah di bawah sunyi.
“PETI bukan sekadar soal emas,” kata seorang warga tua, menatap gunung dalam kabut. “Ini soal masa depan tanah kami, masa depan anak-anak kami.”
Muhammad Riza