Scroll Untuk Membaca

Features

Jumat Pagi Di Johor: Edy, Teh, Dan Jejak Yang Masih Panjang

Jumat Pagi Di Johor: Edy, Teh, Dan Jejak Yang Masih Panjang
Edy Rahmayadi
Kecil Besar
14px

“Tubuh ini harus kita latih agar tetap segar. Jika tubuh segar, pikiran juga segar,” katanya seraya menepuk bahu sendiri. Jumat pagi di kawasan pemukiman padat Johor, halaman belakang rumahnya yang jembar masih basah oleh embun. Edy Rahmayadi baru selesai olahraga; kaus tipis, celana training, keringat yang belum tuntas hilang.

Kami, Mohsa El Ramadan, Maskur Abdullah, Sri Wahyuni Nukman, Affan Lubis, dan Ustaz Heriansyah, duduk di deretan kursi melingkar—semacam ‘posko kecil’ yang ia sediakan untuk siapa pun yang ingin ngobrol. Di meja, tersaji teh—permintaan kami karena tidak ada kopi arabika—tapi tak berpasangan dengan pisang rebus. Obrolan dua jam itu santai, tapi tidak longgar; seperti lari jarak sedang—napas dijaga, langkah konsisten.

Edy tipe tuan rumah yang welcome. Ia mempersilakan tamu bertanya duluan, lalu menanggapi pelan, kadang menyusun kalimat seperti menyusun peta manuver, lengkap dengan panah-panah strategi. Bedanya: gestur militernya kini lebih elastis—telapak tangan terbuka, sesekali saja menunjuk; alis yang dulu kerap mengeras, sekarang lebih sering mengerut penasaran. “Kalau orang punya ide, ayo kita bahas. Pemerintahan itu bukan monolog,” ujarnya, memberi isyarat agar teh kami diseruput.

Kami mulai dari angka—termometer paling dingin untuk mengukur kerja. “Sumut memang belum finish,” ia mengakui. “Tapi laju larinya berubah.” Data resmi mendukung cerita itu: pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara naik dari 2,61% (2021) menjadi 4,73% (2022)—pertanda mesin mulai pulih dari jeda panjang pandemi. Tingkat pengangguran terbuka turun tipis dari 6,33% ke 6,16%, dan Indeks Pembangunan Manusia melangkah dari 72,00 ke 72,71; garis kecil di grafik, tapi berdampak di masa sekolah dan peluang hidup yang lebih panjang. “Bukan angka sempurna,” katanya, “tapi arah panahnya benar.”

Ia mencondongkan tubuh. “Yang paling sunyi tapi paling menentukan itu stunting,” kata Edy yang mempraktikkan seni kepemimpinan ketika jadi gubernur. “Itu soal masa depan—bukan hanya grafik.” Pada 2022, prevalensi stunting Sumut turun dari 25,8% ke 21,1%—sedikit lebih baik dari rerata nasional saat itu. Setahun setelahnya, angka itu kembali turun menjadi 18,9%, menempatkan Sumut di posisi 9 terendah se-Indonesia. “Kerjanya lintas sektor—dari posyandu sampai sanitasi,” ujarnya, dan di kalimat itu suara komando berubah jadi ajakan.

Topik bergeser ke perkara yang membuat ruang paripurna kerap menghangat: infrastruktur. Edy tak menutupinya. Ia sudah membuka koridor jalan elak menuju tanah Karo—memisahkan dari jalur jalan arteri yang sudah tua dan padat.

Jalur alternatif Medan–Karo (Berastagi) via Kutalimbaru itu ia dorong sebagai “pembuluh darah” baru: mempercepat aliran logistik dari ladang-ladang Karo—yang tiap pagi mengirim sayur dan buah—sekaligus mengurai sesak Jamin Ginting yang kerap jadi “leher botol” dan rawan bencana.

Proyek jalan–jembatan multiyears itu, untuk sementara, seperti ditarik rem tangan—terhenti di tengah lintasan. Padahal jalur alternatif ini, kata Edy, adalah nadi tambahan yang bisa melonggarkan arteri kota: mengurai kemacetan di Jamin Ginting dan melajukan arus barang—ingat, sekitar 65% jeruk di Medan lahir dari kebun-kebun Karo. “Kalau nadi ini tersambung,” jelas Edy, “waktu tempuh terpangkas, dan ongkos distribusi sayur–buah dari Karo, Dairi, serta Pakpak ke Medan ikut ramping.”

“Begini, ya,” lanjut Edy. “Urusan hajat hidup orang banyak itu tak boleh main-main. Obatnya? Tambah AMP, tambah alat, tambah pekerja—gas.” Telunjuknya menari di udara, ritmis, seolah memberi aba-aba start. Angka pun bicara: paket jalan–jembatan strategis Rp2,7 triliun digenjot untuk finish di akhir 2023, meski per Agustus progres baru sekitar 56,89%. “Karena itu,” ia menutup, “evaluasi harus dibuka jendela-jendelanya, dan percepatan wajib pakai meteran—terukur, bukan tergesa.”

“Ngeteh” putaran kedua, setelah satu jam bersinggungan narasi, ia kembali pada obsesinya: konektivitas. Ia bercerita tentang rencana Tol Dalam Kota Medan—logika sederhana yang ia ulang: melancarkan arteri ekonomi kota, menekan biaya logistik, dan meredam macet harian. Target awal sempat disetel ambisius, realitas lapangan membuat jadwalnya berayun. “Pokoknya, arus barang dan manusia jangan tersumbat,” ia merangkum. (Narasi kebijakan ini pernah ia suarakan di berbagai forum daerah.)

Sebagian tamu biasanya menanyakan “filosofi kerja” yang sering dianggap sekadar slogan. Edy mengangkat tangan, telapak terbuka. “Membangun Desa, Menata Kota,” katanya, “bukan branding. Kalau desa kuat, kota tak banjir pendatang tanpa kerja; kalau kota tertata, distribusi lancar.”

Ia mengurai prioritas: menekan pengangguran, pendidikan yang mencerdaskan, infrastruktur yang memudahkan, layanan kesehatan yang mutakhir, dan daya saing yang bertumpu pada kemitraan tiga pilar—pemerintah, swasta, masyarakat. “Yang saya minta sederhana: jangan jalan sendiri-sendiri.”

Tantangan fiskal era Edy ringkasnya: 15 juta jiwa butuh “bahan bakar” Rp2,4 triliun, kemampuan baru Rp1,1 triliun. Efeknya: upah ideal Rp5 juta, banyak yang pulang Rp2 juta; kebutuhan 15 juta butir telur baru terpenuhi 3 juta; di Medan perlu 124 sapi/hari, baru terpenuhi 42 sapi. Karena itu APBD dipusatkan ke kebutuhan dasar—pangan, kesehatan, pendidikan—selang berdebit terbatas ke kebun paling haus.

Pendidikan: insentif guru dibenahi; yang dulu Rp40 ribu/jam naik hingga Rp90 ribu/jam. Kesehatan: horizon 10 tahun; serapan rendah jadi alarm untuk perbaikan desain dan eksekusi. Prinsip kerja: perkuat fondasi manusia; APBD sebagai peta prioritas sinkron jangka pendek–menengah–panjang, berbasis BPS dan dikalibrasi BI. Pangan dibenahi hulu–hilir—pakan, bibit, kandang, pembiayaan (telur); lahan penggemukan, dokter hewan, rantai dingin, pasar adil (daging)—menutup jurang pasok lewat produktivitas dan logistik, bukan retorika.

Lalu kami bicara tentang bab yang lebih riuh: politik. Kini, Edy tak lagi gubernur. Kursi Sumut 2025–2030 diduduki Bobby Nasution—sebelumnya Wali Kota Medan—yang dilantik Presiden Prabowo Subianto pada 20 Februari 2025, berpasangan dengan Surya. “Begitulah demokrasi bekerja,” ujar Edy, tersenyum tipis.

Dinamika menuju sana keras, dan Edy tak menafikkan. Di Pilgub 2024 ia maju sebagai petahana—namun peta koalisi bergerak liar. Jika pada 2018 ia disokong “koalisi besar” (Golkar, Gerindra, Hanura, PKS, PAN, NasDem) dan menang telak atas lawan utamanya, maka pada 2024 banyak partai besar justru merapat ke Bobby–Surya (Gerindra, Golkar, NasDem, Demokrat, PAN, PKB, PKS, Perindo, PPP, plus PSI), sementara Edy–Hasan didukung enam partai (PDIP, Hanura, Gelora, PKN, Partai Ummat, dan Partai Buruh). “Partai bisa berpindah, ide seharusnya tidak,” komentar Edy datar.

Hasilnya, Tim Edy menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan Perselisihan Hasil Pilkada diajukan; kemudian MK menolak gugatannya. “Kami hormati putusan,” ujar juru bicara timnya kala itu—kalimat yang menutup sengketa dengan kepala tegak. “Kuasa bisa ‘membunuh’ langkah, tapi tidak pikiran,” kata Edy di beranda rumahnya, menatap rumpun daun pepohonan di sela ruang terbuka tempat kami berdiskusi.

Rumor di ruang publik sempat menyeret namanya “layak” untuk mengisi pos pertahanan, usai “huru-hara” politik mengeras di republik—logika yang mengaitkan jam terbang militernya dan pengalaman sipil. Edy sendiri, jauh sebelum ini, pernah bilang Menhan itu tak selalu harus berlatar militer. “Pertahanan itu orkestrasi,” katanya, “bukan hanya parade.”

Dari mana semua itu bermula? Dari barak, tentu. Lulusan Akmil 1985, Edy memulai lintasan di satuan-satuan tempur—menangani peleton dan kompi di Kopassus dan Kostrad, lalu memimpin Yonif Linud 100/Prajurit Setia pada 1998; melewati komando kodim, staf resor militer, memimpin Resimen Taruna Akmil (2010), Pangdam I/Bukit Barisan (2015), hingga Pangkostrad (2015–2018). Setelah mundur, ia turun ke gelanggang politik, menang Pilgub 2018, dan sempat memimpin PSSI sebelum mundur pada 2019. “Hidup ini estafet,” ia terkekeh, “tongkatnya berganti, lintasannya panjang.”

Dua jam berlalu tanpa terasa. Matahari menggeser bayangan pohon mangga; cangkir kami tinggal ampas. Edy kembali memperbaiki posisi kedua kakinya yang menancap kuat di lantai, sesekali merenggang, tak jarang merapat—barangkali mau pendinginan putaran terakhir. “Pembangunan itu maraton,” ia menutup, “yang penting lintasannya jelas.” Pada momen itu, mudah melihat transformasinya: dari perwira yang piawai memberi komando menjadi kepala daerah yang belajar sabar menakar prioritas; dari ruang taktis ke ruang kebijakan; dari disiplin barak ke disiplin data. Ia mengaku tak dendam pada kompetisi yang keras—karena dendam tidak menambah panjang jalan, tidak menambah tinggi anak, tidak menambah cerdas sekolah.

Prolognya sederhana: jejak-jejak pembangunan telah ditancapkan, termasuk ide dan gagasan sport center yang kini megah di lintasan Batangkuis, sebagian jalan sudah licin, sebagian lagi masih berbatu. Sisanya adalah tugas siapa pun yang memegang tongkat berikutnya—termasuk Bobby yang kini memulai periode pertamanya.

“Kalau tubuh dilatih, pikiran ikut segar,” katanya di awal. Mungkin itu metafor paling tepat untuk Sumatera Utara hari ini: terus dilatih—agar ekonomi mengencang, layanan publik bugar, dan masa depan anak-anaknya tumbuh lebih tegap daripada kemarin. Dan cerita itu pun kami sudahi, ditutup, pamit tanpa berpaling, tetap hangat, meski tanpa pisang rebus.

Ramadan MS

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE