“Bibit itu ditanam Miah di belakang rumah. Dua tahun kemudian, pohon itu mulai berbuah—dan ternyata bukan mangga biasa.”
Di ujung Lorong 3, Desa Limau Manis, Tanjung Morawa, Deliserdang, berdiri sebuah rumah permanen yang tampak sederhana. Halamannya cukup luas, muat dua mobil jika diparkir berdekatan.
Tak ada yang istimewa dari tampilannya. Sepi. Tak terlihat tanda-tanda pohon buah, apalagi pohon mangga raksasa. Hanya ada satu unit mobil Toyota terparkir di garasi.
Sabtu siang, 14 Juni 2025, penulis menyambangi rumah itu. Butuh dua kali bertanya ke warga sekitar untuk memastikan: inilah kediaman Salmiah Wijaya, atau akrab disapa Miah.
Setelah beberapa kali mengundang, akhirnya penulis berkesempatan melihat langsung mangga miliknya yang konon bisa mencapai tiga kilogram per buah.
Pintu diketuk, Miah menyambut dengan senyum ramah. Perempuan 53 tahun itu mempersilakan masuk ke rumah bersih dan lapang. Sunyi, karena kedua anaknya tinggal di Surabaya. Di ruang tamu, empat kursi Jepara tersusun rapi. Ia duduk membelakangi foto keluarga—suami dan dua anaknya—dan mulai bercerita.
Miah membeli rumah itu sejak 1995, saat kawasan sekitar masih dikelilingi kebun sawit. “Dulu kalau malam lewat sini serem,” kenangnya. Ia juga sempat berpindah-pindah mengikuti suaminya bekerja, hampir di seluruh pulau Jawa hingga Kalimantan.
Namun di sela obrolan, satu pertanyaan masih menggantung: di mana pohon mangga jumbo itu?
Barulah setelah menyusuri bagian belakang rumah, teka-teki itu terjawab. Di sana, berdiri tegak sebatang pohon mangga yang menjulang setinggi tiga meter, dengan batang sebesar betis orang dewasa. Di antara rimbun daunnya, bergelantungan mangga-mangga raksasa seukuran pepaya.

Kisahnya bermula tiga tahun lalu, saat Miah jogging pagi di Tanjungmorawa. Tiba-tiba, seorang nenek tua menghampirinya dan menawarkan bibit mangga.
“Saya bilang, nggak usah, Nek. Buat apa sih nek mangga,” cerita Miah. Tapi sang nenek bersikeras. Dengan wajah memelas, ia terus membujuk. Tak tega, Miah akhirnya luluh.
“Anak nggak akan menyesal beli bibit mangga ini,” kata sang nenek, seolah tahu apa yang akan terjadi.
Bibit itu ditanam Miah di belakang rumah. Dua tahun kemudian, pohon itu mulai berbuah—dan ternyata bukan mangga biasa. Ukurannya membesar jauh dari wajar.
Saat penulis diajak melihat langsung, sedikitnya ada 10 buah menggantung di cabang-cabangnya. Dua di antaranya dipetik dan ditimbang: masing-masing berbobot 2,1 kilogram.
“Waktu pertama berbuah saya kaget. Kok makin lama makin besar. Saya pikir ini mangga jenis apa,” ucap Miah sambil tertawa.
Soal rasa, jangan tanya. “Manis banget, hampir nggak ada seratnya,” katanya yakin.
Kini, pohon itu sudah tiga kali berbuah. Miah kerap membagikan hasil panennya kepada tetangga. Ia sendiri belum tahu pasti jenis mangga itu. “Ada yang bilang Mangga Mahathir, ada juga yang bilang Kiojay,” ujarnya.
Namun bagi Miah, lebih dari hanya varietas, pohon mangga itu adalah berkah yang datang dari pertemuan singkat—dengan seorang nenek misterius di tepi jalan.
Bibit yang awalnya dibeli karena kasihan, ternyata menumbuhkan kisah yang tak biasa, di rumah sosok Miah yang selalu menebar senyum ramah itu. (m14)













