Pagi menetas perlahan di pesisir Kuala Pidie. Angin Selat Malaka mengelus lembut wajah laut, membawa harum bunga dan nyanyian camar yang melingkar di udara.
Di dermaga kecil, suara kapal kayu berderit pelan, bersahut dengan tawa nelayan yang menjemur jaring. Tetapi pagi itu, tatapan mereka bukan pada ombak melainkan pada rombongan tamu yang datang membawa harapan.
Dua anggota DPR RI, Prof. Rokhmin Dahuri dan Jamaluddin Idham, melangkah di atas pasir lembut, menyapa laut dengan pandang yang penuh rencana. Mereka datang meninjau calon lokasi Kolam Labuh dan Kampung Nelayan Merah Putih, dua program besar yang diharapkan menjadi napas baru bagi pesisir Pidie.

Prof. Rokhmin, rambutnya memutih oleh garam pengalaman, berjalan bersama Bupati Pidie H. Sarjani Abdullah dan Kadis DKP Pidie, Safrizal. Mereka menelusuri tiga titik: Kuala Pidie, Jeumeurang, dan Pasi Beurandeh. Langkah mereka terhenti di beberapa sudut, menatap laut seolah mencari tempat di mana harapan bisa berlabuh dengan tenang.
Pelabuhan Harapan
Bagi Safrizal, kolam labuh bukan sekadar proyek beton dan pelampung. Ia adalah ruang hidup, janji agar nelayan punya tempat aman ketika laut mengamuk.
“Kalau kolam labuh ini jadi, kapal bisa bersandar dengan aman. Tidak perlu berebut di muara sempit. Bongkar muat pun lancar,” ucapnya, jarinya menunjuk ke arah ombak yang pecah lembut.

Abu Udin, 52 tahun, duduk di bawah pohon kelapa sambil memintal tali jaring. Wajahnya yang legam diterpa matahari menahan lelah, tetapi matanya masih menyimpan harap.
“Kalau ombak besar, kami sering tidak tahu ke mana labuh. Kadang kapal rusak, kadang ikan basi duluan sebelum sampai pasar,” katanya lirih, seperti bicara pada laut yang diam.
Bagi para nelayan, kolam labuh bukan hanya tempat bersandar — tapi rumah baru bagi kehidupan yang selalu berkejaran dengan badai.
Kampung Merah Putih, Janji di Ujung Pesisir
Selain kolam labuh, pemerintah pusat menjanjikan Kampung Nelayan Merah Putih, program di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto. Di atas kertas, ia tampak megah: rumah-rumah nelayan, fasilitas ekonomi, dan pusat pemberdayaan berbasis laut.
Namun di hati masyarakat pesisir, harapan mereka sederhana: agar janji itu tidak berhenti di papan proyek dan tumpukan batu.

“Kami ingin anak-anak kami bisa hidup dari laut tanpa harus meninggalkan kampung,” ujar Dewi, istri nelayan di Jeumeurang. Matanya menatap cakrawala, seolah mencari masa depan di antara garis biru laut.
Menunggu Ombak yang Membawa Perubahan
Menjelang sore, Prof. Rokhmin berdiri menghadap laut. Ombak bergulung pelan, membawa kenangan masa ketika laut Indonesia dijanjikan sebagai masa depan bangsa.
Pidie dengan garis pantai panjang dan nelayan yang tangguh, kini menunggu kapan janji itu kembali datang bersama ombak.
Safrizal menutup hari dengan kalimat yang menancap di angin. “Kami hanya ingin laut ini kembali menjadi sumber hidup, bukan sekadar latar bagi kemiskinan.”
Dan ketika senja turun perlahan, para nelayan kembali ke rutinitas, menambatkan kapal, menambal jaring, dan menunggu. Menunggu ombak yang, suatu hari nanti, mungkin membawa perubahan.
Muhammad Riza



  
    
  
  
      









