Features

Lebih Dari Sekedar Obat: Memaknai Kembali Esensi keperawatan

Lebih Dari Sekedar Obat: Memaknai Kembali Esensi keperawatan
Kecil Besar
14px

MASIH jelas di ingatan saya ketika seorang pasien lansia yang setiap pagi selalu menanyakan hal yang sama kepada saya, “Suster, apakah saya bisa sembuh?”

Suaranya lirih, tetapi matanya penuh harapan. Padahal, secara medis, kondisinya tidak banyak berubah. Obat terus diberikan, prosedur terus dijalankan, namun yang membuatnya tersenyum bukanlah infus baru atau hasil lab yang membaik, melainkan ketika saya duduk sebentar di sampingnya, mendengarkan ceritanya tentang masa muda. 

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Saat itu saya tersadar, bahwa kadang yang paling dibutuhkan pasien bukanlah obat, tetapi seseorang yang mau hadir sepenuh hati.

Pengalaman sederhana ini mengingatkan saya pada filsafat keperawatan, yaitu landasan berpikir yang membantu perawat memahami hakikat manusia dan makna merawat. 

Dalam filsafat keperawatan, manusia tidak dipandang hanya sebagai tubuh yang sakit, tetapi sebagai makhluk utuh yang memiliki emosi, pikiran, keyakinan, hubungan sosial, serta kebutuhan akan perhatian dan pengakuan.

Cara pandang ini mendorong saya untuk melihat pasien bukan sekadar objek tindakan medis, melainkan seseorang yang memiliki cerita hidup dan kebutuhan yang lebih dalam daripada sekadar perawatan fisik.

Dari perspektif filosofis inilah layanan keperawatan dibangun. Merawat tidak cukup dilakukan dengan prosedur, alat, dan obat-obatan, tetapi juga dengan empati, komunikasi, dan kehadiran. 

Layanan keperawatan menjadi sebuah hubungan kemanusiaan, bukan hanya tugas teknis. Itulah sebabnya, meskipun kondisi fisik pasien lansia itu tidak banyak berubah, ia merasa lebih baik ketika ada yang mau mendengarkan.

Pemahaman ini penting karena mengembalikan esensi keperawatan pada tujuan utamanya: membantu manusia mencapai kesejahteraan menyeluruh.

Filsafat keperawatan mengingatkan kita bahwa kesembuhan tidak selalu diukur dari hasil laboratorium, tetapi dari kemampuan seseorang merasa didukung, dihargai, dan tidak sendirian. Dan sering kali, justru di situlah letak kekuatan nyata seorang perawat.

Saya memahami bahwa keperawatan bukan sekadar praktik teknis. Profesi ini memiliki dasar pemikiran yang disebut filsafat ilmu, yang merupakan cara kita memahami apa itu keperawatan, apa yang dirawat, bagaimana kita merawat, dan mengapa kita merawat. 

Dalam filsafat ilmu keperawatan, terdapat tiga landasan berpikir yang menjadikan keperawatan lebih dari sekadar pekerjaan, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiganya memiliki makna yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari seorang perawat:

1. Ontologi

Ontologi adalah cabang dari ilmu filsafat yang berhubungan dengan cara pandang tentang hakikat hidup. Filsafat keperawatan menjelaskan bahwa yang dirawat bukan hanya tubuh yang sakit, tetapi manusia secara utuh, meliputi pikiran, emosi, hubungan sosial, spiritualitas, bahkan harapan dan ketakutannya. Pada pasien lansia, yang perlu dirawat bukan hanya penyakitnya, tetapi juga rasa kesepian dan kecemasannya. Dalam ontologi keperawatan, kita diajak untuk memahami bahwa manusia lebih luas daripada gejala medis yang terlihat.

2. Epistemologi

Epistemologi adalah studi tentang pengetahuan yang mengkaji bagaimana kita mengetahui cara terbaik merawat seseorang. Perawat tidak hanya mengandalkan pengetahuan teknis seperti memasang infus atau memberikan obat. Pengetahuan keperawatan juga berasal dari: hasil penelitian (evidence-based practice), pengalaman klinis, intuisi profesional, pemahaman tentang manusia, kemampuan mendengarkan, dan mengamati. Saat saya memilih untuk duduk dan mendengarkan cerita pasien, itu juga bagian dari epistemologi—pengetahuan bahwa kehadiran dan empati dapat mengurangi kecemasan, meskipun tidak tertulis dalam resep dokter.

3. Aksiologi

Dalam aksiologi, perawat diajarkan bagaimana kita menggunakan ilmu yang didapat berbicara tentang nilai dan tujuan. Keperawatan tidak bertujuan semata-mata menyembuhkan penyakit, tetapi bertujuan untuk: meningkatkan kualitas hidup, memberikan kenyamanan, menjaga martabat manusia, memberi rasa aman, dan mendampingi pasien dalam situasi sulit. Memahami keperawatan dari sisi filsafat ilmu membuat kita sadar bahwa tugas perawat jauh melampaui prosedur teknis. Jika keperawatan hanya dipahami sebagai pekerjaan teknis, maka maknanya akan berkurang menjadi sekadar rutinitas. Dengan memahami ontologi, epistemologi, dan aksiologi, perawat dapat melihat pekerjaannya sebagai ilmu yang mempelajari manusia secara menyeluruh.

Menerapkan pendekatan filosofis dalam keperawatan bukanlah hal yang mudah. Beban kerja yang sering kali sangat berat, dengan jumlah pasien banyak, waktu terbatas, administrasi menumpuk, dan tuntutan tugas teknis yang tidak pernah berhenti, seringkali membuat kita terjebak dalam rutinitas. Memasang infus, memberikan obat, mengganti balutan, mencatat di rekam medis—semua itu menjadi begitu monoton hingga kita lupa untuk melihat sisi manusiawi di balik semua itu.

Pada kondisi seperti ini, duduk sebentar untuk mendengarkan pasien terasa seperti “kemewahan waktu” yang sulit dilakukan. Banyak perawat ingin memberi perhatian lebih pada pasien, namun realitas lapangan sering kali membuat hal itu sulit. Inilah tantangan terbesar: bagaimana tetap menerapkan nilai-nilai filsafat keperawatan di tengah tekanan kerja yang tinggi?

Namun, dalam situasi paling sibuk sekalipun, sepatah kata hangat, senyuman tulus, atau waktu satu menit untuk mendengarkan dapat menjadi bukti bahwa keperawatan tetap berdiri di atas dasar kemanusiaan. Itulah kekuatan dari keperawatan yang berpijak pada filosofi: sederhana, tetapi sangat berarti.

Pada akhirnya, filsafat keperawatan bukanlah konsep abstrak yang hanya layak dibahas di ruang kuliah; ia adalah landasan yang memberi makna pada setiap tindakan kita di ruang praktik.

Filsafat inilah yang mengingatkan kita bahwa di balik setiap prosedur ada manusia, di balik setiap diagnosis ada cerita, dan di balik setiap rutinitas ada kesempatan untuk merawat lebih dari sekadar tubuh. Karena itu, saya mengajak rekan-rekan perawat dan juga calon perawat untuk berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: “Apa filosofi dalam merawat? 

Apa nilai yang ingin saya bawa setiap kali saya memasuki ruang pasien?” Dengan menyadari kembali alasan kita memilih profesi ini, kita bukan hanya menjadi perawat yang kompeten, tetapi juga perawat yang hadir sepenuhnya sebagai manusia yang mempunyai hati yang peka. Dan mungkin, dari sana, lahirlah esensi sejati dari pelayanan kesehatan. (Oleh: Dr. Siti Zahara Nasution, S. Kp, MNS & Renia Loysa Sinurat, S.Kep Ners, (Program Studi Magister Ilmu Keperawatan USU)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE