Mutasi, bagi sebagian pejabat, adalah tangga naik menuju ruang yang lebih terang. Tapi bagi sebagian lain, ia bisa menjadi lorong panjang yang dingin dan sepi—tempat jabatan berganti, tapi mimpi harus kembali ditata dari awal.
Di antara dinding kusam kantor-kantor dinas, udara terasa lebih berat dari biasanya. Jam dinding berdetak pelan, tetapi bagi para pejabat, setiap detik terdengar seperti genderang ketidakpastian. Gelisah itu menular, seperti angin yang berhembus pelan tetapi pasti, menyusup ke setiap sudut ruang kerja.
Pagi itu, Kamis (16/10) secangkir kopi hitam mengepul di meja seorang pejabat. Matanya tidak benar-benar melihat laporan di depannya. Bukan angka-angka yang mengusik pikirannya, melainkan kabar yang beredar lirih, bahwa mutasi besar-besaran tengah menunggu saatnya “dipukul gong”.
“Setiap pagi, semua orang sibuk bertanya kabar terbaru,” katanya lirih, separuh tersenyum, separuh kaku. Senyum yang tidak benar-benar senyum lebih mirip tameng untuk menutupi gugup yang tak bisa disembunyikan.
Bisik-bisik Pagi
Di koridor panjang kantor, bisik-bisik terdengar seperti lagu tanpa nada. “Si A katanya mau dipindah…,” “Si B bakal naik jabatan…,” “Katanya minggu ini ” Tidak ada kepastian, hanya serpihan kabar yang beterbangan, jatuh ke telinga siapa saja yang waspada.
Ada yang mulai membereskan laci, menumpuk map-map berdebu yang lama tak disentuh. Ada pula yang memilih duduk diam, menatap layar ponsel—menunggu pesan singkat yang bisa mengubah arah hidup birokrasi mereka.
Mutasi, bagi sebagian pejabat, adalah tangga naik menuju ruang yang lebih terang. Tapi bagi sebagian lain, ia bisa menjadi lorong panjang yang dingin dan sepi—tempat jabatan berganti, tapi mimpi harus kembali ditata dari awal.
Di Balik Wajah Tenang
Sementara itu, dari balik meja Bupati Pidie, H Sarjani Abdullah, tampak tenang menghadapi riak-riak yang mengombang-ambingkan para bawahannya. Melalui juru bicara Andy Firdaus Lancok, ia menyampaikan pesan sederhana namun dalam:
“Bupati terus melakukan pembenahan dan evaluasi kinerja aparatur. Rotasi dan mutasi mungkin saja dilakukan, kita tunggu saja,” kata Andy.
Pernyataan itu bagai angin sepoi yang tidak benar-benar menyejukkan. Ia tidak menyangkal, tapi juga tidak sepenuhnya memastikan.
Andy menambahkan, bila pun dilakukan dalam waktu dekat, prosesnya tetap dilakukan dengan profesional dan berdasarkan evaluasi kinerja.
Menunggu Gong Dibunyikan
Matahari mulai condong ke barat. Di luar, suara kendaraan bercampur dengan nyanyian burung sore. Namun di dalam kantor, waktu seolah berjalan lambat. Setiap suara telepon, setiap ketukan pintu, setiap pesan masuk bisa jadi pertanda bahwa “gong” mutasi itu telah tiba.
Sebagian pejabat memilih berdoa dalam diam. Sebagian lain menyusun rencana cadangan di kepala mereka. Dalam birokrasi, semua tahu: jabatan adalah kursi berputar, tak ada yang duduk di sana selamanya.
Dan malam pun turun perlahan di Pidie. Suasana sepi menyelimuti ruang-ruang kerja yang sejak pagi bergemuruh oleh spekulasi. Yang tersisa hanyalah perasaan campur aduk antara harapan, cemas, dan pasrah.
Mutasi, pada akhirnya, bukan sekadar urusan administrasi. Ia adalah kisah manusia tentang nasib, ambisi, dan waktu yang tidak pernah bisa ditebak.
Muhammad Riza