Di tengah kesulitan itu, para nelayan menyimpan satu harapan besar: pembangunan kolam labuh di bekas pelabuhan lama Kuala Benteng Sigli.
Subuh di Kuala Benteng, Sigli, Selasa (14/10), terasa sibuk namun sunyi. Suara mesin boat nelayan terdengar pelan di antara riak air muara yang semakin dangkal.
Fuadi Nurdin, 40, seorang nelayan asal Kota Sigli, berdiri di atas boatnya sambil memeriksa jaring yang akan dipakai melaut pagi itu.
“Kalau air surut, boat kami sering kandas. Kadang harus kami dorong sendiri,” ujarnya sambil mengusap keringat di kening.
Selama dua puluh tahun menjadi nelayan, Fuadi Nurdin sudah hafal benar setiap pasang surut air di muara Kuala Sigli.
Bagi Fuadi dan belasan nelayan lainnya, laut bukan sekadar sumber mata pencaharian. Laut adalah kehidupan. Namun, kehidupan itu kian sulit ketika muara tempat mereka bersandar tidak lagi bersahabat.
Pasang Surut Menentukan Rezeki
Muara Kuala Kota Sigli saat ini mengalami pendangkalan cukup parah. Kondisi tersebut memaksa nelayan menyesuaikan waktu melaut dengan pasang surut air laut. Jika terlambat, mereka terjebak di muara selama berjam-jam.
“Kalau air lagi surut, kami tidak bisa masuk. Ikan yang kami tangkap bisa busuk sebelum sampai ke pasar,” keluh Rahmad, 35, nelayan lainnya.
Kondisi ini juga berdampak pada biaya operasional. Nelayan harus membawa hasil tangkapan ke TPI Pasie Lhok di Kecamatan Kembang Tanjong lokasi yang cukup jauh dari pusat Kota Sigli. Selain menguras waktu dan tenaga, ongkos bahan bakar pun membengkak.
Harapan pada Kolam Labuh
Di tengah kesulitan itu, para nelayan menyimpan satu harapan besar: pembangunan kolam labuh di bekas pelabuhan lama Kuala Benteng Sigli.
Menurut mereka, keberadaan kolam labuh akan menjadi solusi jangka panjang untuk memperbaiki rantai distribusi hasil tangkapan.
“Kalau ada kolam labuh, kami bisa sandar kapan saja, tidak perlu menunggu air pasang. Hasil tangkapan lebih cepat sampai ke pasar,” kata Fuadi Nurdin.
Panglima Laot Kabupaten Pidie, Marfian, mengatakan pihaknya sudah beberapa kali menyampaikan aspirasi para nelayan kepada pemerintah daerah.
“Kolam labuh ini penting untuk mendukung kesejahteraan nelayan. Pidie punya potensi besar di sektor perikanan,” ujarnya.
Potensi Laut yang Besar
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pidie mencatat jumlah nelayan tangkap sebanyak 4.858 orang dengan armada 1.442 kapal.
Produksi perikanan tangkap tahun 2023 mencapai 2.120,78 ton per tahun. Sekitar 30 mil laut dari Kota Sigli terdapat terumbu karang alami, habitat ikan yang sangat potensial untuk pengembangan sentra perikanan.
Dengan potensi sebesar itu, kolam labuh diyakini akan memperkuat posisi Pidie sebagai salah satu sentra perikanan di Aceh. Selain memudahkan aktivitas nelayan, keberadaan kolam labuh juga membuka peluang bagi tumbuhnya sektor ekonomi kreatif di pesisir.
Lebih dari Sekadar Dermaga
Kolam labuh bukan sekadar tempat kapal bersandar. Bagi nelayan Sigli, ia adalah jaminan masa depan. Dengan fasilitas pelabuhan yang lebih baik, proses bongkar muat hasil tangkapan menjadi lebih cepat dan aman. Selain itu, kawasan ini juga berpotensi berkembang menjadi destinasi wisata bahari baru.
Kepala DKP Pidie, Safrizal, beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa pemerintah daerah telah beberapa kali mengajukan usulan pembangunan kolam labuh ke pemerintah pusat. “Kita terus berupaya agar usulan ini direalisasikan. Kolam labuh sangat penting bagi para nelayan,” ujarnya.
Menjaga Harapan
Menjelang sore, kapal-kapal nelayan kembali satu per satu ke muara yang sempit. Beberapa kapal harus menunggu air pasang, sebagian lagi menepi di pantai. Hidup nelayan terus bergulir dalam pasang surut yang tak pasti.
Meski demikian, harapan mereka belum surut. Nelayan-nelayan Sigli tetap percaya bahwa suatu hari nanti, kolam labuh akan berdiri di Kuala Benteng—menjadi rumah aman bagi kapal, dan sumber kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat pesisir Pidie.
Muhammad Riza