Scroll Untuk Membaca

Features

Mitos Kancil Dan Korupsi

Mitos Kancil Dan Korupsi
Kecil Besar
14px

MEDAN — Sastra Melayu klasik suatu studi yang sudah sangat lama berkembang dan hingga kini masih berlangsung. Perdebatan mengenai kebenaran yang selalu bisa berubah karena hadirnya penemuan baru di dalam studi kemelayuan menunjukkan sifat keilmiahannya yang khas.

Kedua, ternyata Sastra Melayu adalah bagian dari sastra dunia. Ketiga, bahwa karya-karya sastra Melayu klasik ini mempunyai peranan sosial dalam masyarakat yang melahirkannya dan bahwa melalui karya sastra Melayu klasik ini kita dapat mengetahui “alam pikiran orang Melayu.”

“Keempat, yang paling menarik, bahwa ternyata karya sastra Melayu klasik ini masih sangat relevan dengan manusia dan kehidupan masa kini (Lih. Fang : Sarumpaet,2011). Semua ini menegaskan pentingnya cerita rakyat sebagai sumber riwayat yang mengetengahkan informasi, inovasi dan advokasi berbasis kearifan lokal.

Cerita Binatang (Fabel) pembaca, mendapatkan sejumlah solusi atau jawaban, yakni bagaimana tokoh Pelanduk mengatasi dan menyelesaikan persoalan.

Pelanduk termasuk binatang yang kecil dan lemah. Hanya dengan kecerdasan otaknya, ia bisa hidup di dalam hutan belantara.

Terkadang ia agak nakal. Tetapi biasanya ia bertujuan baik, ia menyelesaikan perselisihan paham antara binatang atau menolong binatang-binatang kecil dari ancaman binatang besar.

Mungkin inilah sebabnya dalam beberapa kumpulan cerita, Pelanduk dikatakan telah menjadi hakim yang adil dan bijaksana.

Hikayat Pelanduk jenaka ini amat beragam versi, dan bahwa cerita yang bernalar dan menular di Nusantara mempunyai banyak persamaan dengan cerita Pelanduk di Campa dan Annam, Asia Tenggara, walau “binatangnya lain, yaitu Kelinci tetapi sebagian besar ceritanya dapat dikenali kembali dalam cerita Pelanduk Melayu-Jawa.”

Pelanduk Versi Melayu

Cerita binatang dalam bahasa Melayu yang mengambil PeJanduk atau Kancil sebagai watak utamanya, mengalami tiga tingkat perkembangan.

Dalam tingkat pertama, Pelanduk adalah seekor binatang kecil yang senantiasa terancam kehidupannya.

Hanya dengan menggunakan akal, ia dapat terus hidup. Untuk memakan buah-buahan yang ada di seberang sungai, ia meminta Buaya menjadi jembatannya.

Bila teierat, dia pura-pura mati. Kadang-kadang ia juga menggunakan kecerdikannya untuk mempermainkan binarang-binatang lain.

Biarpun begitu, dia tidak berdaya terhadap binatang yang lebih kecil dari dirinya. Hikayat Sang Kancil yang sangat populer di Semenanjung Tanah Melayu tergolong dalam tingkat perkembangan ini.

Pada tingkat kedua, Pelanduk sudah menjadi Tok Hakim di Rimba. Dia adalah seorang menteri Nabi Sulaiman yang bertugas menyelesaikan segala pertikaian yang berlaku antara manusia dengan manusia atau binatang dengan binatang.

Terhadap aduan seorang saudagar bahwa seorang budak yatim sudah menjadi gemuk, karena menghirup bau makanannya, Pelanduk meminta budak itu menghitung di balik tirai dan berkata bahwa bunyi denting itu adalah seharga bau makanan yang dihirup.

Pelanduk dengan Anak Memerang adalah cerita yang termasuk tingkat perkembangan ini. Pada tingkat ketiga, Pelanduk sudah menjadi raja di rimba dan ia menghukum segala binatang yang tidak takluk kepadanya. Hikayat Pelanduk Jenaka termasuk dalam tingkat perkembangan ini.

Pelanduk ke Kancil

Setelah era Pelanduk Jenaka narasi fabel berrtemu dengan tokoh kancil yang digambarkan cerdik, piawai dan suka menipu dengan segala akal bulusnya. Hikayat Sang Kancil yang dikarang oleh Daeng Abduihamid untuk Tuan Winstedt (2011).

Isinya menceritakan binatang yang membalas kebaikan dengan kejahatan. Seekor Buaya telah tersepit ekornya oleh sepohon kayu yang tumbang.

Seekor Kerbau melepaskannya. Tetapi Buaya itu bukan saja tidak membalas kebaikan budi Kerbau itu, ia malah hendak memakannya. Perkara itu lalu ditanyakan kepada tikar buruk dan tudung saji. Kedua-duanya menjawab bahwa memang sudah menjadi adat dunia bahwa kebaikan dibalas dengan kejahatan.

Ketika Sang Kancil ditanya, dia pura-pura ingin tahu keadaan yang sebenarnya dan meminta Buaya menyusup ke bawah kayu semula.

Segera dia menyeru Kerbau melepaskan kayu itu, maka Buaya pun tersepit seperti semula. Sang Buaya lalu membalas dendam untuk memakan Kancil. Kemudian cerita bagaimana Sang Kancil menipu Harimau.

Sang Kancil ingin memakan daging Rusa dan meminta Harimau menangkap seekor Rusa untuk dimakan.

Tatkaia rusa itu sudah ditangkap, sebagian daging Haimau juga dimakan Sang Kancil. Harimau hendak membalas dendam malah terkena tipu helah Sang Kancil. Karena tipu helah Sang Kancil, Harimau termakan tahi Kerbau,

Kancil dan Korupsi

Gambaran watak kancil ini pernah disindir oleh AA Navis dalam Kongres bahasa Indonesia (1988) yang mengamati bahwa sejumlah watak pejabat dan penguasa mencontoh perilaku kancil.

Pengarang Minangkabau itu menyatakan bahwa,”sebagian besar pejabat kita dibesarkan dengan dongeng kancil, sehingga ketika dia menjadi orang sukses dalam intelektual dan material ia memilih menjadi ‘murid kancil’ untuk memanipulasi, korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan”..

Cerita rakyat yang bernada koruptif dan provokatif ini bukan saja terdapat dalam dongeng dan cerita fabel Nusantara. Sebab dongeng Cina pernah dikisahkan seorang pejabat korup berusaha menunjukkan bahwa ia masih bersih dan jujur.

Sebelum memangku jabatan, ia mengambil sumpah di hadapan rakyat, dengan menyatakan,”Jika tangan kanan saya menerima suap, maka tangan itu membusuk; dan jika tangan kiri saya menerima suap, maka tangan ini juga akan membusuk.

”Selang beberapa waktu kemudian, seorang bawahan memberinya lempengan perak sebanyak seratus rael sebagai tindakan penyuapan. Ia ingin menerima pemberianitu tapi takut melanggar sumpahnya.

Guna menghindarkan dirinya dari masalah, sang bawahan berkata, ”Mengapa uangnya tidak ditaruh saja dalam lengan baju Tuan, sehingga hanya bagian itu saja yang membusuk jika memang harus begitu!”

”Pejabat itu menerima gagasan itusebagai ide logis dan iapun menerima uang itu. ( 2003).

Sebagai kisah yang banyak diramu dalam cerita rakyat, tradisi literasi dongeng dapat dianggap relevan dengan sikap dan perilaku kancil yang banyak berkilah untuk membenarkan perbuatannya yang manipulatif dan koruptif. (Shafwan Hadi Umry, Dosen UISU Medan)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE