Jumat siang, 15 Agustus 2025. Di kantor KPPN Padangsidimpuan, satu nama akademisi menonjol di antara deret panggilan saksi: Prof. Muryanto Amin, Rektor Universitas Sumatera Utara. KPK memanggilnya untuk dimintai keterangan pada perkara suap proyek jalan di Sumatera Utara yang lebih dulu menyeret Topan Obaja Putra Ginting, Kepala Dinas PUPR Sumut (nonaktif). “Pemeriksaan bertempat di KPPN Padangsidimpuan,” ujar juru bicara KPK. Pertanyaan menguar: mengapa seorang rektor perguruan tinggi negeri muncul di berkas sebuah kasus pengadaan jalan?
Sehari-hari, Muryanto mengurus kampus tua di jantung Medan. Tapi dalam perkara ini, KPK terang-terangan menyebut alasan pemanggilan: “Ini circle-nya, … Topan juga kan circle-nya,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu. Pernyataan singkat itu menandai babak baru: lingkar relasi menjadi kunci, bukan semata aliran duit.
Jejak perkara dimulai Kamis malam, 26 Juni 2025. Tim KPK melakukan operasi tangkap tangan di Mandailing Natal, lalu bergerak ke sejumlah lokasi lain di Sumut. Dari penindakan itu, KPK menetapkan lima tersangka: penerima — Topan Ginting (Kadis PUPR Sumut), Rasuli Efendi Siregar (Kepala UPTD Gunung Tua/PPK), dan Heliyanto (PPK Satker PJN Wilayah I Sumut) — serta pemberi, yaitu M. Akhirun Efendi (Dirut PT DNG) dan M. Rayhan Dulasmi Piliang (Direktur PT RN). Kasus dipilah dalam dua klaster: proyek di Dinas PUPR Sumut dan proyek di Satker PJN Wilayah I. Total 6 paket pekerjaan bernilai sekitar Rp231,8 miliar.

KPK membeberkan konstruksi awal: pemenang ditentukan lewat rekayasa tayang paket di e-katalog. Asep Guntur mengungkap adanya arahan agar “penayangan paket lainnya diberi jeda seminggu agar tidak terlalu mencolok.” Kalimat pendek itu menggambarkan satu modus klasik: memecah ritme agar pola pemenangan pada e-katalog tak tampak sebagai repeat winner. “Sistem elektronik tidak cukup mencegah korupsi,” ujar Wana Alamsyah dari ICW.
Dari sisi imbalan, penyidik menyebut komitmen fee untuk Kadis PUPR di kisaran 4–5 persen. “Kepala dinas akan diberikan sekitar 4–5 persen dari nilai proyek,” ujar KPK; kalkulasinya mendekati Rp8 miliar untuk keseluruhan paket yang diatur. Pada tahap lain, Akhirun dan Rayhan disebut menarik uang Rp2 miliar yang diduga dialokasikan untuk para pejabat yang membantu memenangkan proyek.
Usai OTT, penggeledahan di Medan menambah potret perkara. Dari rumah Topan, KPK menyita sekitar Rp2,8 miliar uang tunai dan dua senjata api. Penyidik menyebut penyitaan untuk menelusuri asal-usul dana dan keterkaitannya dengan transaksi suap proyek jalan. “Dana ini diduga kuat berkaitan dengan Mury (Muryanto) yang akan maju menjadi Rektor USU untuk periode 2026—2031,” sebut sumber di lingkungan kampus.
Tapi, beberapa kali dihubungi via telepon dan whatsapp, Muryanto tak pernah merespon konfirmasi dan verifikasi yang dilayangkan waspada.id.
Siapa melakukan apa
Keterangan resmi KPK memetakan peran lima tersangka. Di klaster Dinas PUPR Sumut, Topan dan Rasuli diduga menjadi penerima suap; di klaster Satker PJN Wilayah I, Heliyanto selaku PPK menjadi penerima. Di sisi lain, Akhirun dan Rayhan, dua pengusaha ayah-anak, ditempatkan sebagai pemberi. Pasal sangkaan pun berbeda: untuk pemberi suap (Akhirun dan Rayhan), Pasal 5 ayat (1) huruf a/b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 KUHP; untuk penerima (Topan, Rasuli, Heliyanto), Pasal 12 huruf a/b, Pasal 11, atau 12B UU Tipikor jo Pasal 55 KUHP. Skema ini menggambarkan dua sumbu utama: supply uang dari pihak swasta, dan demand kewenangan pada rantai pejabat pemda dan satker pusat.
Di atas kertas, e-katalog seharusnya menutup ruang transaksi gelap lewat transparansi harga dan standar spesifikasi. Tetapi rekonstruksi KPK memperlihatkan bagaimana pelaku mengakali sistem: mensinkronkan penawaran, mengatur ritme penayangan, hingga mengunci pemenang. Taktik “jeda seminggu” itu, bila benar terbukti di pengadilan, adalah upaya mengaburkan pattern supaya sistem pengawasan tak membaca kejanggalan.
Gelombang pemanggilan saksi: dari Padangsidimpuan ke Jakarta
Setelah penetapan tersangka, KPK memulai maraton pemeriksaan saksi di KPPN Padangsidimpuan. Pada 14 Agustus, 29 orang dipanggil — rentangnya dari mantan kepala daerah, pejabat teknis, sampai unsur swasta. Sehari kemudian, 15 Agustus, 13 saksi terjadwal, termasuk Rektor USU. Daftar itu memberi sinyal: penyidikan bergeser menelisik alur keputusan, bukan lagi sekadar transaksi.
Namun, pada jadwal 15 Agustus itu, juru bicara KPK menyatakan Muryanto tidak hadir. Pemeriksaan pun dijadwalkan ulang. Ketidakhadiran ini memantik sorotan, lantaran sehari sebelumnya KPK telah menggarap puluhan saksi di lokasi yang sama.
Mengapa Rektor USU dipanggil? Di sinilah “sirkel” menjadi kata kunci. KPK menyebut Muryanto bagian dari lingkaran yang juga memuat Topan dan Gubernur Sumut Bobby Nasution. “Kita mendalami pengetahuan-pengetahuan dari Pak Rektor ini terkait pengadaan jalan,” kata Asep. Dengan kata lain, statusnya saksi: diminta menerangkan hal-hal yang ia tahu, bukan dituduh melakukan.
Bobby di pinggir papan catur
Perhatian kasus ini cepat melompat ke kantor gubernur karena Topan adalah pejabat Pemprov Sumut dan “kepercayaan” Bobby. Tapi sejauh awal Agustus, KPK menyebut “belum ada pengajuan” dari penyidik untuk memeriksa Bobby sebagai saksi.
Koordinator SAHdaR Hidayat Chaniago mendesak KPK segera memanggil Bobby Nasution untuk menjelaskan dugaan ini. “Jangan ada tebang pilih,” tegasnya.
Di orbit Bobby, Topan bukan nama asing. Sebelum dilantik menjadi Kadis PUPR Sumut pada 24 Februari 2025, Topan adalah Kadis PU Kota Medan saat Bobby menjabat Wali Kota, bahkan sempat menjadi Pelaksana Tugas Sekda. Mata publik pun menghubungkan lingkar birokrasi Pemko Medan yang “naik kelas” ke Pemprov.
Bagaimana jejak relasi antara Pemerintah Provinsi dengan USU? Menurut sumber di kampus masih bersifat institusional: program “Kolaborasi Sumut Berkah,” wacana pembangunan berbasis riset, hingga forum bersama di kampus. Dalam salah satu pertemuan resmi, Gubernur Bobby mengajak USU berkolaborasi untuk menopang program pembangunan; Rektor Muryanto menyatakan komitmen USU memperkuat basis riset bagi Pemprov. Meski bentuknya kerja sama kebijakan, ini cukup menjelaskan mengapa relasi personal-institusional menjadi relevan dalam penyidikan yang menelisik “sirkel.” “Tapi, dalam proyek jalan itu, Mury diduga terlibat ikut merancang sejak awal,” sebut sumber di kampus.
Aliran uang, alur perintah
Dari penjelasan KPK, ada dua hal yang masih dibuka: aliran dana dan alur perintah. Penyidik menyatakan sedang menelusuri potensi aliran dana dari Akhirun (pemberi) tak hanya ke Topan, tetapi juga ke aparat penegak hukum dan pejabat negara. Arah ini menunjukkan cakupan kasusnya lebih luas, tak cuma satu dinas. Di saat yang sama, KPK mendalami apakah Topan bertindak atas perintah pihak lain. Kedua jalur inilah yang kerap mempertemukan uang dan kekuasaan.
Pemetaan perkara yang dirilis ke publik sejauh ini juga memuat detail teknis yang signifikan: nilai komitmen fee (sekitar 4–5 persen), penarikan tunai Rp2 miliar sebelum OTT, dan penyitaan Rp2,8 miliar dari kediaman tersangka. Ini bukan angka-angka besar jika dibanding total proyek, namun cukup untuk mengikat tiga simpul: bukti transaksi, motif keuntungan, dan kontrol atas penunjukan rekanan.
Saksi Rektor, rumor DED, dan batas informasi
Pemanggilan Rektor USU memantik spekulasi di kalangan kampus: Muryanto disebut-sebut mengetahui bahkan terlibat dalam tahap perencanaan teknis, termasuk DED (detail engineering design). Tahap ini memang krusial dalam proyek konstruksi—menentukan kualitas, biaya, risiko, dan kemudahan konstruksi. “Ada dugaan DED proyek itu beberapa kali diubah, terutama soal anggarannya,” sebut sumber di kalangan kampus.
Dalam kasus-kasus pengadaan, desain teknis (DED) kerap dikerjakan konsultan swasta atau unit teknis pemerintah. “Tapi bisa melibatkan akademisi sebagai tenaga ahli,” jelas sumber itu.
Apa dampaknya bagi publik?
Konstruksi jalan yang menyeret Topan ke sel KPK ini tersebar di wilayah selatan Sumut, dari koridor Simpang Kota Pinang–Gunung Tua hingga Sipiongot–Hutaimbaru. KPK menyebut modus pengaturan pemenang dan pemburuan fee berimplikasi ke mutu jalan: spesifikasi digenapkan ke angka minimal, masa layanan lebih pendek, atau biaya pemeliharaan melonjak. Pada tingkat makro, kasus ini memperlihatkan celah tata kelola e-katalog: sistemnya transparan, tetapi aktor bisa bersepakat “mengatur jam tayang” paket untuk menghindari pantauan.
KPK menegaskan belum ada pengajuan memanggil Gubernur Bobby Nasution. Tapi pada saat bersamaan, penyidik membuka kemungkinan pemanggilan pihak mana pun jika ditemukan bukti relevan. Ini pelajaran lama: perkara korupsi jarang berdiri sendiri; ia menelusuri alur keputusan, dari teknis ke politis.
Kronologi dramatis: simpul-simpul tahun 2025

26 Juni 2025 – OTT KPK di Mandailing Natal, enam orang diamankan; penyidikan merentang ke Dinas PUPR Sumut dan Satker PJN Wilayah I.
28 Juni 2025 – Lima orang ditetapkan tersangka: TOP, RES, HEL (penerima); KIR dan RAY (pemberi). KPK memaparkan modus e-katalog dan jeda tayang paket.
Awal Juli 2025 – Penggeledahan kediaman Topan; disita Rp2,8 miliar dan dua senjata.
Juli–Agustus 2025 – KPK menyatakan menelusuri aliran dana ke APH/pejabat; pada saat yang sama mengungkap dugaan adanya “perintah” di balik tindakan Topan.
13–15 Agustus 2025 – Pemeriksaan massal saksi di KPPN Padangsidimpuan (18 saksi pada 13/8; 29 saksi pada 14/8; 13 saksi pada 15/8 termasuk Rektor USU). Muryanto tidak hadir; pemeriksaan dijadwal ulang.
26 Agustus 2025 – Asep Guntur menyebut Muryanto bagian dari “circle” Topan–Bobby, mempertegas alasan pemanggilan saksi dari kalangan akademik.
Membaca “sirkel”: siapa yang tahu apa dan kapan

Istilah “sirkel” yang digunakan KPK untuk Muryanto adalah untuk menjelaskan relevansi orang yang dipanggil saksi dengan pihak yang sudah jadi tersangka. Dengan bekal itulah, pemanggilan Rektor USU mesti dibaca: penyidik ingin menggali konteks pengadaan jalan, proses kebijakan, atau siapa berperan di fase apa.
Di ruang publik, gemuruh pun terdengar. Forum Penyelamat USU melayangkan somasi terbuka terkait pemanggilan Rektor USU, Prof. Muryanto Amin, oleh KPK dalam kasus korupsi proyek jalan di Sumut. Mereka menilai ini telah merusak kepercayaan publik terhadap integritas kampus.
“Forum menuntut penonaktifan sementara jabatan Rektor, pembatalan pencalonannya, serta audit khusus keuangan USU. Jika tuntutan tak dipenuhi dalam tiga hari, mereka siap menempuh jalur hukum demi menjaga marwah universitas,” tegas Ketua Forum Penyelamat USU, M. Taufik Umar Dani Harahap, dalam somasi yang dilayangkan ke Majelis Wali Amanat (WMA) USU pada Kamis, 4 September 2025.
Sebuah perkara korupsi kerap berawal dari detail yang tampak sepele: tempo tayang paket di e-katalog, “fee” beberapa persen, atau percakapan yang menambatkan keputusan teknis pada keinginan pemenang. Dari detail itulah jalur diperlebar: ke rumah dinas, ke kantor dinas, ke rekening, dan, pada akhirnya, ke lingkar orang-orang yang saling mengenal dan “bestie”. Pemanggilan Rektor USU Muryanto adalah episode dari perluasan jalur itu—sebuah upaya penyidik untuk membaca who knew what and when. | JARINGAN JURNALIS INVESTIGASI SUMATERA (JJIS)