MEDAN (Waspada.id): Instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan pemeriksaan terhadap PT Toba Pulp Lestari (TPL) patut disambut sebagai langkah yang tepat dalam kerangka negara hukum. Setiap badan usaha, tanpa kecuali, memang wajib tunduk pada mekanisme pengawasan negara.
Pemeriksaan bukanlah bentuk kriminalisasi, melainkan instrumen konstitusional untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum, lingkungan, dan hak masyarakat.
Namun, yang tidak kalah penting, pemeriksaan tersebut harus dilakukan secara profesional, transparan, dan berbasis fakta hukum, bukan sebagai respons atas tekanan massa atau opini yang terlanjur dibentuk di ruang publik.
Negara tidak boleh memulai proses pemeriksaan dengan praduga bersalah. Jika itu terjadi, maka pemeriksaan kehilangan maknanya sebagai alat keadilan dan berubah menjadi legitimasi atas prasangka sosial.
Dalam negara hukum, prinsipnya jelas: jika terbukti melanggar, negara wajib bertindak tegas. Tidak boleh ada toleransi terhadap pelanggaran hukum, khususnya yang berdampak pada lingkungan dan masyarakat. Tetapi sebaliknya, jika hasil pemeriksaan menyatakan TPL patuh hukum, maka negara juga berkewajiban menghentikan seluruh narasi ketidakadilan yang selama ini membebani pelaku usaha.
Tidak adil membiarkan dunia usaha terus berada dalam posisi “terdakwa sosial” tanpa putusan hukum yang sah. Persoalan ini bukan semata tentang satu perusahaan, melainkan tentang kepastian hukum dan wibawa negara.
Dunia usaha adalah bagian dari ekosistem pembangunan nasional. Menjaga iklim investasi yang sehat, kepastian berusaha, dan rasa aman bagi pelaku ekonomi adalah mandat konstitusional pemerintah.
Ketika badan usaha yang telah diperiksa secara resmi tetap diseret dalam stigma publik, yang rusak bukan hanya reputasi korporasi, tetapi juga kredibilitas negara sebagai penjamin keadilan.
Instruksi Presiden seharusnya menjadi momentum koreksi cara negara berkomunikasi. Pemeriksaan boleh dan perlu, tetapi penghakiman dini harus dihentikan. Penegakan hukum tidak boleh berjalan seiring dengan pembunuhan karakter. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan opini yang memaksa lahirnya kesimpulan sebelum proses hukum selesai.
Lebih jauh, Presiden perlu memastikan bahwa hasil pemeriksaan menjadi titik akhir polemik, bukan bahan bakar baru untuk narasi konflik.
Jika TPL terbukti bersih, negara harus hadir paling depan meluruskan opini publik, menghentikan tuduhan, dan memulihkan martabat hukum. Jika tidak, maka pesan yang sampai ke publik justru berbahaya: bahwa kebenaran hukum tidak pernah cukup untuk mengakhiri stigma.
Keadilan harus berlaku dua arah. Negara tegas kepada pelanggar hukum, tetapi juga adil kepada mereka yang patuh. Dunia usaha tidak boleh diperlakukan sebagai kambing hitam setiap kali muncul persoalan struktural yang sejatinya merupakan tanggung jawab kebijakan dan pengawasan negara.
Pada titik inilah kepemimpinan Presiden diuji. Negara hukum bukan negara tekanan. Keadilan tidak lahir dari desakan massa, melainkan dari proses yang jujur, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pemeriksaan TPL harus menjadi contoh bahwa hukum benar-benar menjadi panglima, bukan sekadar alat untuk meredam gejolak opini sesaat. (Oleh Mhd. Isnen Harahap, Fungsionaris PB HMI)











