Di sebuah meunasah di pinggiran Kabupaten Pidie, map-map cokelat tergeletak di meja kayu. Suryadi, seorang imum mukim, menatapnya lekat. Semua amprahan sudah ia tandatangani sejak Januari, tetapi dana operasional tidak juga datang.
“Sudah sembilan bulan belum ada pencairan. Biasanya kalau sudah teken, pasti ada uang,” ucapnya, Selasa (4/11).
Ia bukan satu-satunya. Sebanyak 97 imum mukim di Kabupaten Pidie mengaku belum menerima dana operasional (OP) selama sembilan bulan terakhir. Padahal, nilai itu hanya Rp500 ribu per bulan kecil, tetapi menjadi bahan bakar untuk menjalankan pelayanan masyarakat di tingkat mukim.
Beberapa imum terpaksa menombok sendiri biaya bensin dan rapat. “Kami tetap jalan, tetapi kadang harus pakai uang pribadi,” kata Suryadi lagi.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) Pidie, Wahidin, S.STP, M.Si, menjelaskan bahwa keterlambatan disebabkan perubahan anggaran di tingkat kabupaten.
“Sebelum perubahan APBK 2025, dana belum dianggarkan karena bersumber dari provinsi Aceh. Setelah perubahan disahkan, baru dicatat dalam DPA perubahan,” ujarnya.
Ia menegaskan, dana akan segera cair setelah dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) perubahan ditandatangani dan diteruskan ke bagian keuangan daerah.
Namun, bagi para imum mukim, penjelasan itu hanya menambah panjang daftar penantian. Mereka tetap melayani warga, menjadi penengah, memimpin musyawarah, semua dilakukan tanpa bekal yang semestinya.
Menjelang siang, Suryadi menutup map-map itu. Di luar, langit Pidie mulai terik. Ia tahu, uang itu mungkin akan datang, tetapi entah kapan.
“Kami cuma mau pelayanan tetap jalan,” katanya pelan. “Tetapi kalau dananya belum turun, kami hanya bisa bertahan,” pungkasnya.
Muhammad Riza













